Merakit Kata

Merakit makna di balik kata...

  • Home
  • Download
  • Premium Version
  • Custom Theme
  • Contact
    • download templates
    • Link 2
    • Link 3

Menu

  • Home
  • Dear Diyar(i)
  • Fiksi Mini
  • Tentang Si Perakit
  • Merakit Gambar
Judul : Madre Kumpulan Cerita
Penulis : Dee/Dewi Lestari
Penyunting : Sitok Srengenge
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-8811-49-1
Cetakan Pertama, Juni 2011
162 hlm


“Apa rasanya sejarah hidup kita berubah dalam sehari? Darah saya mendadak seperempat Tionghoa, nenek saya ternyata seorang tukang roti, dan dia bersama kakek yang tidak saya kenal, mewariskan anggota keluarga yang tidak pernah saya tahu: Madre.”

Madre berhasil menarik perhatian saya di awal cerita, Dee menyajikan teka-teki tentang siapa Tansen Wuisan dan kenapa harus dia yang menerima warisan berupa sebuah kunci dan selembar kertas bertuliskan alamat di dalam amplop (yang nantinya digunakan untuk bertemu dengan Madre)

Kisah Madre bermula ketika pemuda bernama Tansen menghadiri pemakaman kakeknya Tan Sin Gie—yang belum pernah dia kenal sebelumnya—dan membuat benaknya terus memikirkan siapa dan kenapa Tan Sin Gie mewariskan Madre kepada Tansen. Melalui alamat yang dia dapatkan dari pengacara ahli warisnya, Tansen lantas bertemu dengan Pak Hadi. Lelaki tua yang dulunya bekerja di tempat Tan Sin Gie bercerita tentang awal mula Tan memulai usahanya sebagai penjual roti bersama dengan perempuan bernama Lakshmi, neneknya. Mereka menamai toko roti itu, Tan de Bakker.
Judul Buku : Garis Perempuan
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Penyunting : Imam Risdiyanto
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-979-1227-72-8
Cetakan Pertama, Januari 2010
378 hlm.


“Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey tumbuh bersama sejak belia. Mereka menjalani takdir sebagai perempuan dan menemukan bahwa hidup tak selalu terkonfigurasi serupa dongeng masa lalu para peri.”
“Kebun kehidupan pun acapkali melalui kemarau panjang yang harus dijalani. Mereka tak mampu mengelak dari kepatuhan terhadap partitur perkawinan, walaupun yang teralun adalah selarik nada pahit.”

Ketika membaca penggalan sinopsis novel karya Sanie B. Kuncoro tersebut, saya langsung menangkap ide besar cerita dalam buku berjudul Garis Perempuan ini. Merujuk pada keterikatan perkawinan yang “agak kurang disegani” oleh keempat tokoh utama di dalam cerita. Konflik utamanya adalah, “mereka tak mampu mengelak dari kepatuhan terhadap partitur perkawinan,” kalimat ini yang saya tangkap mengandung sirat makna tentang perkawinan yang tidak diinginkan.

Kisah di dalam novel ini dibagi menjadi empat bagian yang memaparkan konflik masing-masing tokoh yakni Ranting, Gendhing, Tawangsri, dan Zhang Mey. Pada saat belia, mereka dihadapkan pertanyaan tentang arti keperawanan. Apa rasanya jadi perawan? Apakah keperawanan harus dirayakan dengan suatu tradisi (bancaan)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut disambut para orangtua mereka dengan jawaban subjektif masing-masing oleh sebab latar belakang ekonomi dan keturunan. Keluarga kelas bawah dan kelas menengah atas. Iniren dan congkouren.
Judul : Filosofi Kopi
Penulis : Dee / Dewi Lestari
Penyunting : Dhewiberta
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-8811-61-3
142 hlm
Cetakan Pertama, Januari 2012



Filosofi kopi berkisah tentang lelaki bernama Ben yang tergila-gila dengan kopi dan sahabatnya Jody. Ben yang telah belajar meracik kopi dari pengalamannya di luar negeri mengajak Jody untuk mendirikan sebuah kedai kopi idealis. Ajakan bersambut, maka lahirlah kedai Filosofi Kopi yang diilhami namanya dari ide Jody bahwa setiap kopi mencerminkan arti, asal-usulnya sendiri.

Konflik merambat naik ketika Ben mendapatkan pelanggan yang mengaku pernah meminum kopi yang lebih enak dari ramuan kopi buatannya. Ben mengajak Jody ke suatu daerah di Jawa Tengah untuk mencari biji kopi berdasarkan petunjuk pelanggan tadi. Sampai di tempat yang dituju, Ben dan Jody bertemu dengan Pak Seno serta dijamu kopi buatan lelaki tua itu. Di situlah Ben menemukan kopi yang dicarinya. Kopi yang ketika dinikmati membuat si peminum kopi tertegun mencairkan suasana. Menjadi apa adanya.

Buku ini adalah buku ketiga karya Dee yang saya baca setelah Rectoverso dan Madre. Kesan awal melihat sampul bukunya, saya pikir ini adalah buku non-fiksi Dee yang baru saya temukan. Namun saya salah terka. Dengan tulisan fiksi, buku ini benar-benar membuat saya kagum akan riset Dee tentang kopi—bagaimana dia bisa memahami secara detil tiap kopi yang ditulisnya. Ya, memang semua penulis harus memiliki dasar yang kuat untuk menuliskan ceritanya. Namun Dee selalu bisa membuat terpukau dengan suguhan baru yakni memfilosofikan kopi.


Filosofi kopi merupakan salah satu dari delapan belas cerita pendek dan prosa Dee selama satu dekade. Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini dua di antaranya pernah dipublikasikan dan telah disunting di beberapa bagian.
sumber



“Hei, Bocah, bangun. Mereka sudah pergi!” Si pohon pisang mengibaskan daunnya.
“Mungkin dia sudah mati. Aku pernah melihat manusia yang dicongkel matanya. Mati,” terang Si Batu.
“Nggak. Belum mati. Napasnya masih berembus,” bantah si pohon pisang. Si bocah masih terbenam di naungannya.
“Aku nggak yakin dia akan selamat.”
“Bocah ini terlalu banyak tahu yang seharusnya dia nggak tahu,” kata Si pohon pisang.
Si Bocah kesakitan membalikkan badannya. Anyir terasa di pelupuk mata juga di dalam mulutnya.
“Malam yang malang baginya.”
“Hei, Bocah. Mata dan lidahmu dikubur di bawah kakiku.” Si pohon pisang memberi tahu.

“Mana dengar. Tolol!” sindir Si Batu.


#100kata. Ditulis untuk FF Kamis. Monday Flashfiction.

Ia ingin sekali pindah ke dalam plastik. Pergi bersama belasan kawannya menuju dapur si ibu gendut. Sebab mengendap di atas tampah begitu menjemukan.

Sudah berhari-hari bawang merah menanti si ibu gendut yang berbelanja di kios tempat ia dijajakan. Ibu gendut yang biasanya memborong bermacam sayuran itu harus menjumputnya kali ini. Ia pun berdoa agar ibu gendut datang lagi ke kios. Memborong lagi dan menjumputnya.


Doanya terkabul. Ibu gendut akhirnya datang berbelanja menjumput bawang merah. Dengan begitu ia bisa menemui kekasihnya. Ia mencemaskan sang kekasih yang dibeli ibu gendut seminggu lalu. “Bawang putih, Kasihku. Semoga ibu gendut belum memasakmu.” Ratapnya sendu.

#FFKamis 100 kata
#ditulis untuk MondayFlashFiction

Sudah pukul lima sore. Kuembuskan napas kesalku.

“Si Mala sudah lewat ya, Mbok?” tanyaku sambil melumat pisang goreng yang dijual Mbok Yati. Janda empat puluh tahunan itu paling hafal kapan Mala lewat di depan warungnya.

“Ndak tahu, Le. Biasanya jam segini dia mampir beli gorengan,” terang Mbok Yati sembari sibuk meladeni pembeli.
sumber

Tok…tok…tok.

“Masuk!” seru Pak Camat dari balik ruangan kerjanya.

Lelaki berperut buncit menghampiri Pak Camat lantas menyodorkan sebuah map berwarna hijau, “Pak, ada proposal dari Desa Banyusari.”

“Taruh saja di meja,” timpal Pak Camat tak menggubris sibuk mencoret-coret proposal yang menumpuk.
sumber
Adakah yang lebih nikmat daripada menyambut senja dan nada-nada di pekarangan? Adakah syahdu terhebat melebihi kicau burung kenari dan secangkir kopi tubruk beraroma sudut pedesaan? Si tua bermanja dimandikan lazuardi.

Dua pasangan bersahutan, bernyanyi, berirama. Mereka tahu ada kerinduan yang wajib ditumpahkan. Mereka adalah pertemuan yang enggan melewatkan kepergian hari. Mereka adalah harmoni yang berujung pada akor C mayor.
Langganan: Postingan ( Atom )

Mari Mencari

Sembari Dengarkan

Arsip Rakitan

  • ▼  2017 (3)
    • ▼  Juli (3)
      • Review Buku : Madre
      • Review Buku : Garis Perempuan
      • Review Buku : Filosofi Kopi
  • ►  2016 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2015 (15)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2014 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (17)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Desember (4)

Rakitan Sebelumnya

  • Ingin Hilang Ingatan
    Letih di sini, kuingin hilang ingatan.... Gerimis merona malam ini. Aku bisa merasakan warna pipimu memerah delima. Kau pasti meng...
  • #FFRabu - Lipstik Buat Parti
    Sejak Si Parti anak Pak Lurah suka nongkrong di warung milik Pak Burhan, dia menjadi pintar bersolek. Kecantikannya kini hampir menyaingi ...
  • Aku Memilihmu
    sumber Pilih dia atau aku, Lucie? “Jangan gegabah! Berpikirlah!” lelaki di depanku berteriak. Mukanya pasi melihatku. Aku t...
  • #FFRabu - MOU
    “Silakan dipelajari MOU-nya, Pak.” “Sebentar, Mas. Ini benar harga barangnya segini?” “Iya, Pak. Kalau kondisinya baru, biayanya meman...
  • Hanya Teman (Kata Mutia)
    Dulu. Dulu kita punya cerita. Teman. Dulu kita berteman. Sampai sekarang pun kita berteman. Hanya berteman. Sampai akhirnya waktu mu ...

Monday Flash Fiction

Monday Flash Fiction
Tempat untuk berfoya-foya para FlashFiction Lovers

Follow Twitter

Follow @ardirahardian

Cuplikan Twitter

Tweets by @ardirahardian

Kawan Blogger

Langganan

Postingan
Atom
Postingan
Semua Komentar
Atom
Semua Komentar

Si Perakit Kata

Unknown
Lihat profil lengkapku

E-book Monday Flashfiction 1

E-book Monday Flashfiction 1

E-book Monday Flashfiction 2

E-book Monday Flashfiction 2

Pada Sebuah Nama

Pada Sebuah Nama

Merakit Kata (Book Version)

Merakit Kata (Book Version)
Copyright 2014 Merakit Kata.
Distributed By My Blogger Themes | Designed By OddThemes