Namaku Diyar, aku hanyalah sebuah karakter yang terbentuk dari ekspresi sebuah ide bukan curahan hati. Aku bisa menjadi senang, sedih, marah, kecewa apapun emosi yang manusia miliki kapan saja. Karena apa yang kau baca ini hanyalah karakter.
#Suck :
"My life is suck! Bahkan jika kau datang kepadaku sekarang, aku tak bisa jamin apa-apa darimu. Aku bahkan ragu kau bisa mengobatiku. Kau tak pernah tahu apa yang terjadi sekarang pada kenyataan yang memuakkan ini" Ucap Diyar lirih. Pandangannya masih terbenam dalam gelap ketika senja telah meninggalkan singgasananya. Baru saja Diyar mendapat pesan singkat dari seseorang yang pernah dia harapkan.
#Jangan Mengaharap :
Diyar tak peduli dengan ocehan-ocehan itu. "Everything is bullshit dengan segala kelakuan dan respon yang kalian berikan. Gue gak peduli" Gerutu Diyar. Setiap orang memang hanya akan dilirik dari statusnya. Diyar merasa bodoh mengharap respon dari orang lain.
#Harapan :
Harapan. Sebuah kata yang berputar-putar di kepala Diyar. Hanya percaya pada kata itu sungguh tak ada perubahan dari sepotong kata harapan. Berulang-ulang Diyar sabar dan berharap pada seseorang. Mutia.
#Dua Hal :
Letih. Banyak hal yang berontak di kepala Diyar. Ini sangat memuakkan daripada hal paling membosankan di dunia. Hampa tak terasa arti sebuah waktu yang terus saja bergulir dengan egonya. Hari-hari Diyar kini kacau tak terencana. Tak ada yang bisa membuat Diyar tersenyum lepas selepasnya. Tak seperti dahulu. Bahkan tak ada lagi seseorang yang sanggup menyimpan ceritanya. Semua pergi satu per satu bersama waktu menyisakan Diyar yang sendiri. Mungkin tinggal mimpi yang setia bersama Diyar dan lagu "Stop crying your heart out" milik Oasis yang selalu menggema di dalam kepalanya. Dua hal itu yang bisa membuat Diyar lepas menjadi dirinya apa yang dia inginkan.
#Janji :
Akhirnya setelah empat tahun Diyar berjalan mencari ilmu, tibalah hari yang ditunggu. Hari untuk mengakhiri status mahasiswanya. Senyum dan bahagia tak pernah surut di hari itu. Ucapan "Selamat" berkali-kali dia peroleh. Namun Diyar hanya menunggu satu orang yang telah berjanji akan datang di hari kelulusannya itu. Diyar masih sabar setelah 30 menit berlalu. Matahari semakin condong dan bersembunyi di balik mendung. 60 menit telah ditebus kesabaran yang disusul dengan tetes air hujan. Badan tegap Diyar sudah sangat lelah ingin beranjak meninggalkan tempat itu. Namun kaki-kakinya serasa berat untuk digerakkan. Hujan semakin deras menutup hari itu. Orang yang ditunggu Diyar itu. Dia tak akan pernah datang. Sebuah janji yang tak terpenuhi. Lagi!
#Kelompok :
“Kelompok
ini sebenarnya penting gak sih?” Diyar bertanya kepada seorang anggota
kelompok.
“Penting
sih, tapi kok kayak gini melulu jadi kayak gak penting di mata mereka” Jawab
anggota kelompok yang sebenarnya sama saja dengan “mereka”
Diyar
benar-benar tak habis pikir masalah ini muncul lagi. Diyar sudah kepalang
pasrah dengan keadaan yang semakin memojokkan. Memimpin sebuah kelompok memang
bukan hal yang mudah. Sebuah kelompok harusnya saling mendukung dan patuh
dengan instruksi ketuanya. Kelompok adalah wadah untuk bertukar pikir mencari
solusi pemecah masalah. Apalagi kelompok ini adalah warisan dari ketua
sebelumnya. Sudah jelas ini bukan kelompok yang baru dibentuk kemarin sore.
Sebuah
kepercayaan akan kandas dengan satu pengkhianatan. Satu kelompok tidak bisa
berjalan dengan satu orang. Jika berlaku demikian maka bukan lagi kelompok
namanya. Suatu kelompok dipandang berhasil bukan dari karyanya dan bukan dari
apa yang mereka hasilkan. Tapi proses mereka dalam mencapai hasil tersebut. Kelompok
yang solid pasti berhasil dengan baik lantaran memiliki anggota yang saling
berkomitmen.
Kali
ini Diyar adalah seoarang ketua kelompok dan memimpin beberapa orang di
bawahnya. Besok adalah hari yang amat penting saat kelompoknya akan mengadakan
event langganan. Event ini sudah menjadi tradisi kelompok dari dulu. Dan masalahnya
adalah tidak ada anggota yang merespon bagaimana event ini akan berjalan.
Sibuk
adalah alasan klasik setiap orang. Betapa tidak jengkel Diyar jika ada anggota
yang diajak berunding dan menawarkan alasan sibuk maupun alasan ada acara. Ya,
memang setiap orang memiliki acara masing-masing. Bahkan Diyar juga diburu
beberapa acara penting. Dan di setiap pertemuan untuk berunding selalu saja
alasan klasik itu menjadi wakil kedatangannya. Mungkin mereka tidak tahu
seberapa penting event ini. Ah, bukan itu namun seberapa penting arti sebuah
kelompok. Arti sebuah kehadiran yang sekiranya untuk memberikan kepercayaan
kalian kepada kelompok ini. jika di setiap pertemuan selalu saja alasan klasik
itu muncul memang berarti tidak ada komitmen yang solid untuk memajkan kelompok
dan mereka lebih mementingkan acara mereka. Ya, ini hanyalah soal sudut pandang
dan soal berbaik sangka kepada anggota. Sekali lagi Diyar benar-benar bingung
dengan kelompok yang mereka angggap sebenarnya penting tapi juga tak penting. Jadi,
jangan menyesal jika Diyar mengucapkan “Selamat menikmati pembubaran kelompok”
#Tukang kritik :
Mengomentari. Seperti sudah menjadi kebiasaan. Diyar suka sekali mengkritik apa saja yang dia lihat. Mengomentari setiap detik yang dia lewatkan tanpa melihat dari segi yang lain.
Simple saja ketika Diyar menonton sebuah acara kuis. Si pembawa acara memberikan waktu kepada peserta untuk menjawab pertanyaan. Begitu pertanyaan dibacakan, si peserta banyak menjawab tidak tepat dan kehabisan waktu sebelum menjawab pertanyaan terakhir. "Gobl*k! Cantik-cantik tapi bodoh gak bisa jawab" Komentar Diyar. Menjawab pertanyaan dengan dibatasi waktu akan membuat seseorang memiliki dua pilihan. Menjawab cepat tapi asal atau menjawab lambat dan kehabisan waktu. Keduanya sama-sama tak memenuhi harapan bukan? Belum lagi seberapa susah tingkat pertanyaan tersebut. Posisikan saja Diyar menjadi si peserta. Belum tentu juga dia bisa menjawab tuntas dan tepat. Semuanya kembali pada sudut pandang masing-masing dengan berpikir logis tentu semua bisa dicerna otak dengan baik. Jangan asal mengomentari kemudian menyalahkan orang lain yang belum tentu salah. Sekali lagi Diyar harus berpikir logis dengan melihat segala sesuatu secara objektif.
#Diyar (tidak) tahu :
Entahlah
dari mana asal mulanya. Satu per satu mereka menyerbu. Kesunyian dan kepenatan
mengungkung Diyar pelan-pelan. Tidak ada yang tahu apakah senyum yang Diyar
lemparkan itu asalnya dari mana. Diyar pun tidak tahu apakah senyum dan tawa
itu sudah pas untuk menyikapi guyonan teman-temannya.
Pelbagai
pilihan ditawarkan oleh teman Diyar. Apakah mereka sudah mengkaji hati dan
perasaan Diyar? Apakah mereka tahu apa yang Diyar inginkan? Mungkin masalah Diyar
hanya satu, hidup. Apakah hidup Diyar ini sudah benar adanya? Sudah sesuai
jalannya?
Pelbagai
hiburan ditawarkan oleh teman Diyar. Mereka benar-benar tahu apa yang Diyar
butuhkan. Namun sudahkah mereka melihat isi dompet Diyar yang kosong melompong
itu? Mereka benar-benar mengerti bagaimana membuat Diyar tersenyum. Tapi Diyar
tidak tahu dari mana senyum Diyar itu muncul.
Bagi Diyar
hari ini sama saja dengan hari kemarin. Berlalu begitu lama ketika siang lalu
melesat seperti kilat ketika malam. Pilihan Diyar ini—tinggal di kota
pelajar—apakah menjadi motivasi baginya?
Masalah Diyar
hanya satu. Hidup. Bagaimana supaya Diyar tetap bernapas hingga esok. Tersenyum
lagi meski Diyar ragu. Ya, tentu saja hidup butuh hal-hal yang bersifat jasmani
dan rohani. Kebutuhan rohani Diyar mungkin redup. Diyar tidak tahu pasti apakah
jalan yang sudah Diyar tempuh ini sesuai dengan kehendak-Nya. Rasa bungah,
kecewa, dan sedih yang mampir itu kini semuanya sama. Bagi Diyar
perasaan-perasaan itu kini menggumpal jadi satu menyumbat urat nadi lalu
merembes ke seluruh tubuh. Semua merembes menjadi rasa gundah dan hambar.
Apa yang
harus Diyar lakukan? Pertanyaan itu jika saja menjadi pertanyaan dasar Diyar,
pastilah keadaan Diyar benar-benar terhadang oleh tembok besar. Buntu.
Masalah Diyar
sekarang hanya satu. Hidup. Kebutuhan jasmani Diyar akan terpenuhi dengan uang
yang diperoleh dari memeras keringat dan banting tulang. Jangan tanyakan
pekerjaan Diyar apa. Diyar jelas-jelas belum memiliknya. Diyar dibekap rasa
bersalah yang (mungkin) sudah besar. Rasa malu ... bukan ... bukan Diyar yang
malu, namun orang yang membesarkan Diyar itu pasti lebih malu. Orang yang
mengurus Diyar dari orok hingga pengangguran seperti ini. Diyar kerap
mengecewakan mereka yang notabene di mata mereka Diyar sudah benar adanya.
Pelbagai
saran pekerjaan ditawarkan oleh teman Diyar. Astaga, Diyar mohon, ini hidup Diyar
yang sekarang Diyar sendiri tidak tahu ke mana arahnya. Apakah Diyar terlalu
banyak berpikir? Apakah Diyar harus mengambil spekulasi? Diyar tidak tahu.
Diyar
hampir lupa caranya mencintai wanita. Mereka mungkin bisa memberikan semangat.
Namun wanita terakhir yang Diyar dekati berkata dalam pesan singkat yang
dibalasnya satu tahun silam, “Jangan
jadikan orang lain sebagai semangatmu. Kamu sendiri yang menentukan jalan
hidupmu. Semangat itu akan ada dalam dirimu sendiri.” Diyar tidak mengerti
perkataannya. Atau dia hanya berdalih untuk menjauh dari Diyar setelah
pernyataan cinta Diyar yang ditampik olehnya.
Pelbagai
wanita memang sliweran di sini. Bagi Diyar
mereka memang menarik, namun Diyar memilih untuk tidak tertarik. Diyar terhenti
dari aktivitas mendekati wanita. Apa yang mereka harapkan dari Diyar tidak jauh
dari kepuasan lahir. Sedangkan Diyar sendiri belum melahirkan sesuatu yang
berharga.
Satu wanita
yang dulu Diyar perjuangkan dan harapkan akan berbuah menjadi hubungan yang
serius kini memudar ditiup ketidakpastian. Wanita itu mungkin jemu terhadap Diyar.
Atau boleh jadi Diyar yang jemu dengan proses hidupnya itu.
Masalah Diyar
hanya satu. Hidup yang kini Diyar tidak kenali.
Yogyakarta,
29 September 2014
#Oktober :
Hari kesatu
bulan sepuluh. Saya (baca : Diyar) bangun lagi dan mendapati seorang teman saya
update status di Blackberry Messenger-nya. Tidak banyak yang dia tulis, hanya angka
satu ... sepuluh ... dan tahun sekarang. Saya tidak ingat hari apa sekarang.
Bau bantal membendung ingatan saya untuk tidak keluar ke mana pun.
“Benamkan
lagi kepalamu lebih dalam,” Bantal mengeluh karena saya masih terduduk di
kasur.
Hari ke
satu bulan sepuluh. Beberapa teman selalu mengharap “sesuatu” yang lebih baik
di awal bulan. Entahlah apakah sesuatu itu berwujud atau hanya angan belaka.
Saya tidak tahu dan saya belum pernah merasakan “sesuatu” di awal bulan akan
berdampak “sesuatu” yang berwujud atau angan tersebut. Mungkin saja memang
“sesuatu” itu datang tanpa saya sadari. Bagi saya semua sama. Saya sudah tidak
ingat apakah sekarang awal bulan atau hari apa dan tanggal berapa.
Hari kesatu
bulan sepuluh. Saya bertanya lagi ketika saya bangun. Tentang waktu dan
kausalitasnya. Hari apa sekarang dan mengapa saya sudah bangun. Mengapa malam
begitu cepat meninggakan saya. Mengapa hari ini sama dengan esok pagi. Hei,
apakah saya sudah kehilangan asa. Esok pagi saya akan terbangun sama seperti
sekarang.
Hari kesatu
bulan sepuluh. Kepala saya pening ketika terbangun. Saya sangsi apakah saya
sakit atau terlalu lama terbenam di kasur. Apa saya lapar di pagi ketika saya
terbangun. Saya lupa makan terakhir saya kapan.
Hari kesatu
bulan sepuluh. Sama seperti bulan sebelumnya. Tidak ada yang spesial. Tidak ada
yang mengusung senyum saya. Tidak ada yang mengisi hati saya dengan cinta
kasih. Tidak ada yang memberikan saya semangat hidup. Tidak ada yang
membangunkan saya dengan selamat pagi-nya. Tidak bertambah lagi uang dalam dompet saya.
Tidak ... tidak ada apapun. Saya pesakitan.
Bulan
kesepuluh. Bulan oktober yang kini saya jumpai sudah berusia 23 tahun. Saya
tidak tahu mengapa saya bersua dengan oktober yang dulu dan sekarang. Saya
tidak tahu kejutan apa yang dia berikan. Saya hampir membuang semua harapan
saya kepada setiap bulan yang menjemput saya di awal pertemuan. Awal bulan
ketika pegawai berharap akan ada segepok uang tergenggam.
Bulan
kesepuluh. Bulan Oktober yang kini sedikit demi sedikit menyeruakkan ingatan
saya. Ketika saya meniup lilin yang berjumlah dua batang itu. Seorang wanita
yang amat saya kenali mengusap kening saya berharap esok akan lebih baik
menanti hidup saya. Seorang wanita yang dengan tulus mengecup hangat penuh
kasih sayang seraya berbisik di kuping saya, “Selamat ulang tahun, Sayang.”
Terima
kasih ibu. Di antara kelalaian, keputusasaan, dan hilang arah setidaknya saya
masih mendengar bisikan itu. Selamat ulang tahun. Selamat lahir kembali.
Yogyakarta,
1 Oktober 2014.
"Selamat menikamati pembubaran kelompok" kata2 tajam yg harusnya d keluarin semua anggota kelompok nya..
BalasHapusApa sih arti sebuah kelompok ?
Apa sih keuntungan kelompok.?
Jawab orang..