Review Buku : Garis Perempuan

Judul Buku : Garis Perempuan
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Penyunting : Imam Risdiyanto
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-979-1227-72-8
Cetakan Pertama, Januari 2010
378 hlm.


“Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey tumbuh bersama sejak belia. Mereka menjalani takdir sebagai perempuan dan menemukan bahwa hidup tak selalu terkonfigurasi serupa dongeng masa lalu para peri.”
“Kebun kehidupan pun acapkali melalui kemarau panjang yang harus dijalani. Mereka tak mampu mengelak dari kepatuhan terhadap partitur perkawinan, walaupun yang teralun adalah selarik nada pahit.”

Ketika membaca penggalan sinopsis novel karya Sanie B. Kuncoro tersebut, saya langsung menangkap ide besar cerita dalam buku berjudul Garis Perempuan ini. Merujuk pada keterikatan perkawinan yang “agak kurang disegani” oleh keempat tokoh utama di dalam cerita. Konflik utamanya adalah, “mereka tak mampu mengelak dari kepatuhan terhadap partitur perkawinan,” kalimat ini yang saya tangkap mengandung sirat makna tentang perkawinan yang tidak diinginkan.

Kisah di dalam novel ini dibagi menjadi empat bagian yang memaparkan konflik masing-masing tokoh yakni Ranting, Gendhing, Tawangsri, dan Zhang Mey. Pada saat belia, mereka dihadapkan pertanyaan tentang arti keperawanan. Apa rasanya jadi perawan? Apakah keperawanan harus dirayakan dengan suatu tradisi (bancaan)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut disambut para orangtua mereka dengan jawaban subjektif masing-masing oleh sebab latar belakang ekonomi dan keturunan. Keluarga kelas bawah dan kelas menengah atas. Iniren dan congkouren.


Konflik berkembang ke masing-masing tokoh ketika usia menginjak dewasa. Ranting dan Gendhing memiliki latar belakang masalah yang sama. Menyelamatkan martabat keluarga dan menilai sebuah keperawanan dengan harga. Ranting dengan keadaan ekonomi yang kekurangan harus meneruskan usaha ibunya yang terkena sakit tumor, yakni berjualan kerupuk karak. Kondisi tersebut berlangsung hingga Basudewo, seorang “Tuan Besar” di tempat tinggalnya itu menjadikan Ranting sebagai istri ketiganya. Basudewo menawarkan bantuan untuk membiayai operasi penyakit tumor yang diderita oleh ibunya. Demi menyelamatkan sang ibu dari sakit keras, dengan terpaksa Ranting menerima dirinya diperistri oleh Basudewo.

Kondisi yang hampir sama dirasakan oleh Gendhing. Setelah tumbuh dewasa, gadis itu memutuskan bekerja di salon milik majikan ibunya. Dari situlah Gendhing mengenal Indragiri, seorang pengusaha kaya paruh baya yang jatuh hati padanya. Konflik melesat memunculkan masalah baru. Di saat Gendhing ragu akan cintanya, bapak-ibunya harus membayar utang kepada seorang bandar. Penghasilan bapaknya sebagai tukang becak dan ibunya buruh cuci tidak cukup untuk melunasi utang itu. Maka, Gendhing berencana mendapatkan uang dengan cara melepas keperawanannya. Indragiri adalah satu-satunya yang dia harapkan untuk memperoleh uang tersebut. Maka terjadilah transaksi itu dalam satu malam.

Konflik yang dialami Tawangsri merujuk pada emosi. Tawangsri yang sejak kecil kurang mendapat perhatian ayahnya kini mengenal kasih sayang ayah dalam wujud seorang Jenggala. Duda beranak satu ini memikat hati Tawangsri oleh sebab rasa kagumnya melihat naluri kebapakan Jenggala pada anaknya. Tawangsri merasa kembali ke masa kanak-kanaknya setelah bertemu Jenggala. Namun Jenggala mengharap cinta seorang kekasih. Cinta yang membangkitkan libidonya kembali setelah lama ditinggal mati istrinya. Terjadilah perdebatan ketika Jenggala benar-benar ingin melindungi keperawanan Tawangsri dengan perkawinan sementara Tawangsri masih ingin merasakan cinta seorang bapak kepada anaknya melalui naluri seorang Jenggala. Tawangsri bertekad untuk memberikan keperawanannya kepada lelaki yang dicintainya kelak, melalui perkawinan ataupun tidak.

Sementara itu Zhang Mey sebagai gadis Tionghoa dibayangi oleh tradisi di mana kelak jika dia menikah, maka ibu mertuanya akan menyiapkan sapu tangan untuk menampung darah perawannya. Zhang Mey menolak tradisi sapu tangan tersebut pada calon suami yang dipilihkan oleh keluarganya. Namun, pada akhirnya nanti Zhang Mey akan melaksanakan tradisi hanya dengan lelaki pilihannya sendiri. Lelaki berlainan etnis yang tidak masuk dalam kriteria keluarga Zhang Mey.


Sanie B. Kuncoro menggambarkan penokohan yang kaya dengan diksi. Topik keperawanan yang dipaparkan penulis ini menarik dan tidak tabu, malah menjadi pembelajaran tentang arti sebuah keperawanan dewasa ini. Penulis membangun plot dengan alur yang pelan. Untuk menyampaikan ide cerita pada awal mula dipancing dengan cerita masa kanak-kanak keempat tokoh bermain pasaran. Pada awalnya saya hampir saja meletakkan buku ini dan urung membaca, namun saya tahan sampai kisah mulai pada tradisi bancaan yang menandai beralihnya masa kanak-kanak menjadi remaja perawan. Di sinilah saya menangkap ide cerita yang akan disampaikan penulis. Banyak analogi atau perumpamaan yang menurut saya apik namun bagi saya pribadi terlalu pelan dan basa-basi. Ritme seksualitas oleh Sanie B. Kuncoro ditulis dengan halus, meski saya mengira topik ini bisa saja dituliskan penulis dengan frontal dan menggebu-gebu. 

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 komentar:

Posting Komentar