Di Antara Bangku Kereta
Prolog : Sebenarnya ini bukan karya saya seorang, tetapi kolaborasi dengan cerpenis @gardeatyas September 2013. cekidot.... :)
Hangat
mentari meresap ke tubuh laki-laki yang baru saja terbangun dari tidurnya. Perlahan kedua bola matanya mencoba melihat keindahan
dunia yang Tuhan berikan. Laki-laki
itu terpejam dan menonjolkan hidungnya
seakan
dia bisa mencium aroma udara pagi di luar sana. Namun percuma saja yang tercium
hanyalah aroma pengap sebuah gerbong kereta. Laki-laki bernama Damar itu duduk
di salah satu bangku kereta jurusan
Solo. Sekian lama
dia menikmati hamparan hijau yang tersapu angin. Rumah, sawah, dan pemandangan itu sedang beradu lari
dengan kereta, saling mengejar. Hanya Damar yang terdiam dan semakin
cepat kereta itu melaju semakin cepat pula Damar meninggalkan rumahnya di Bandung.
Sudah
lebih dari enam jam Damar terduduk di bangku kereta itu. Sudah belasan kali pedagang
asongan menghampirinya
menawarkan ini dan itu. Ah, sudah berapa stasiun yang dilewatinya. Pukul delapan pagi, Damar tiba di
Stasiun Tugu Yogyakarta. Tak ada yang istimewa dengan stasiun itu. Sama dengan
stasiun-stasiun lain yang telah dilihatnya lebih dulu. Pandangan Damar kini
beralih pada penumpang yang keluar masuk gerbong.
Tak
lama kereta kembali melaju ke tujuan berikutnya, Solo. Kepala Damar terbenam kembali pada bangku yang terbuat dari besi panjang itu.
Mata penat dan udara sengap melengkapi
perjalanannya. Kali ini kereta melaju tak terlalu cepat. Mungkin ingin
memanjakan mata para penumpangnya dengan pemandangan sepanjang Yogyakarta-Solo.
Namun mata Damar sudah lelah memandang apa yang disajikan jendela kereta itu.
Entah mengapa sekarang dia jenuh dengan suasana di luar kereta. Sementara penumpang di dalam
gerbong kereta mulai sibuk
dengan aktivitasnya masing-masing. Damar kini mengamati
satu per satu gelagat penumpang-penumpang itu. Sebagian besar memalingkan
mukanya keluar jendela,
sebagian lagi mereka yang tidur karena tak kuasa menghadapi rasa lelah, ada
pula yang berbincang-bincang
dengan orang di sebelahnya, sedangkan sisanya mereka yang sudah tahu cara menikmati hidupnya.
Damar menghentikan tatapan matanya pada salah seorang penumpang kereta. Orang
yang tak asing dalam benak Damar. Pelan-pelan dia mengamati gadis dengan rambut sebahu dan alis yang
sabit serta jaket wol kuning melekat di tubuhnya. Damar mencoba mengingat gadis
itu dan namanya. Sempat beberapa kali mata Damar dan gadis itu bertemu, namun setelahnya hanya bisa memalingkan pandangan.
Gadis itu pun terlihat canggung saat bertatapan dengan Damar. Dan Damar tak bisa lagi berbohong, memang dia sedang
mengamati gadis manis itu.
“Ah, siapa namanya?” Tanyanya dalam hati.
Damar
terlalu
lemah
untuk
beradu
kekuatan
dengan
egonya yang mencoba untuk tetap diam dan menjadi penumpang yang baik. Namun
rasa penasaran lebih unggul dari egonya. Damar mulai tak tenang, perlahan dia
bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu. Satu dua tiga langkah semakin
mendekat mengantarkan raganya
berdiri
tepat
di seberang
gadis
yang membuatnya penasaran. Dengan
jelas, kedua
mata
itu
bertatapan, saling
melihat warna pupil
masing-masing.
Mereka hening sejenak sebelum sapa pertama terucap.
Tiba-tiba
tubuh Damar terdorong ke depan oleh beberapa orang di belakangnya. Laju kereta
melambat ketika tiba di Stasiun Balapan Solo. Para penumpang mulai riuh
berjejalan turun di stasiun itu. Damar mencoba melawan arus penumpang di dalam
gerbong mencari gadis berjaket wol kuning tadi. Terlambat bagi Damar hanya
bertemu dengan kosong, yakni bangku yang diduduki oleh gadis itu.
“Sial!!
kemana dia?” Geram Damar dengan
muka
masam, Seolah-olah sudah melewatkan kesempatan sekali seumur hidup dengan keberuntungan.
Damar
kesal kehilangan jejak gadis itu. Baru saja dia akan menyapanya. Tapi nasib baik sedang tidak memihaknya.
Kini
Damar telah sampai di tempat tujuan. Solo masih saja memberikan senyuman hangat kepada para pendatang. Dengan senyum mengembang dan
bangga, Damar ingin bergegas keluar
dari pintu stasiun.
Tapi dengan bijaksana
Damar ingin mengisi perutnya yang sedari tadi malam tidak terisi.
“Grrrrttt...grrrtt...”
Handphone Damar bergetar dalam
sakunya.
“Halo
Erik” Kata Damar dengan
tegas.
“Halo
Damar kamu sampai mana?”
“Aku
udah sampai di Stasiun Solo nih”
“Oke
tunggu di situ aku jemput, 10
menit lagi aku sampai”
“Oke
Rik aku tunggu”
Sepuluh
menit bukanlah waktu yang lama bagi Damar. Dia khawatir tak akan selesai makan
dalam waktu secepat itu. Akhirnya masih di stasiun yang sama, Damar duduk sendirian di kursi panjang
sembari menikmati sepotong roti yang baru saja dia beli. Saking laparnya, Damar
larut dengan roti itu dan tidak memperdulikan keadaan sekitar. Tiba-tiba terdengar suara perempuan yang tidak asing
buat Damar.
“Damar??”
Ucap gadis itu dengan ragu.
“Hmmm, ya?” Jawab Damar yang juga ragu namun tetap memalingkan muka pada dia yang sudah
menyapanya.
“Kamu
Damar kan?” Ucap gadis itu lagi meyakinkan dirinya sendiri.
Damar
hanya bisa diam antara grogi dan bingung. Gadis yang tadi sempat menghilang di
dalam gerbong kini duduk tepat berada di sampingnya di kursi tunggu stasiun itu. Segenap tenaga Damar tumpahkan untuk
menemukan nama gadis berjaket wol kuning itu. Mereka berdua kembali hening saling
berbicara lewat mata. Sejenak Damar terpejam menggali dan menggali terus memori
yang pernah dia dapatkan
bersama gadis itu. Dan perlahan senyum Damar mengembang ada secercah kenangan
yang ditemukannya, matanya mulai bersinar. Ya, akhirnya Damar ingat siapa nama
gadis dengan jaket wol kuning yang melekat ditubuhnya itu.
***
Panas
dan kering, Setidaknya dua kata itu mewakili kondisi kota Semarang. Jani bukan
gadis yang hanya bisa berdiam
diri di kamar dan tidur seharian. Apalagi dengan suasana kota Semarang hanya
akan membuatnya bosan. Sudah menjadi hal yang biasa ketika libur tiba, maka dia
akan mencari cara untuk mengisi waktu luang. Kali ini, saat liburan semester Jani, Gina dan Yeni
pergi berlibur ke kota kembang. Bandung.
“Jan, ntar kita maen ke Trans Studio aja,
gimana? Dago? Nyari stok cowok di Bandung beb pasti melimpah deh.” Ajak si
centil Yeni dengan semangat.
“Yeeeee
maunyaaaaa” Sahut Gina dan Jani pada Yeni.
Perjalanan itu berlanjut di tiga hari kemudian. Bukan
menjadi hal yang pertama bagi mereka, tapi beginilah mereka lebih senang
bepergian menggunakan bus dan angkutan umum.
Siang
itu mereka sampai pada tempat tujuan, Dago. Ah ya, tempat ini memang selalu
menjadi tepat special bagi siapa saja
yang berkunjung ke Bandung. Sudah saatnya makan siang dan si gendut Gina
merengek meminta makan pada kedua temannya. Sampailah mereka di sebuah rumah
makan di pinggir jalan itu. Duduk bertiga dan Jani merasa ada yang aneh dengan
dirinya.
“Ada
yang aneh ya Yen sama aku?”
“Duuuh
kenapa emang Jan? Engga ada kok, kamu tetep cantik seperti biasanya. Hahaha”
“Eehh
menurut aku, bukan kamu yang aneh deh Jan. Tapi cowok seberang meja kita. Lihat
deh !! Dari tadi kita dateng, dia ngeliatin meja ini terus, kalau aku engga
salah, dia ngeliatin kamu terus.” Tebak Gina sok tahu. Tapi usut diusut,
melalui pengintaian selama beberapa menit, memang benar, laki-laki itu
memperhatikan Jani.
Selang
beberapa waktu, Jani yang
penasaran pun menghampiri laki-laki itu. Jurus SOK Kenal SOK Dekat pun segera
diaktifkan,
"Permisi bang, abang
asli orang sini kan? Begini nih, saya mau nanya alamat ini dong bang?"
"Oiyaa neng, pendatang
ya? Dari mana??"
Bukan malah memberi tahu alamat, tapi laki-laki itu mengajak Jani dan
kawan-kawannya mengobrol. Memakan waktu 30 menit hanya untuk menanyakan alamat
tempat mereka menginap nanti.
"Sudah tau tempat-tempat asik di Bandung?" Kata
laki-laki itu.
"Cuma tau Dago sama Trans Studio doang. Kita
buta arah dan buta segalanya di sini" Jawab si centil
Yeni.
"Oh,
sayang
banget cuma pergi ke situ doang. Masih banyak tempat asik yang lain di Bandung. Mau tau tempatnya?"
"Iyaa iyaa bang
bolehlah, besok pukul 10 kita ketemu di
sini ya bang
sekalian anterin juga boleh"
kata Yeni bersemangat
Hari-hari berikutnya mereka
bertiga ditemani laki-laki itu berjalan-jalan keliling kota Bandung.
"Bang, nama lo siapa sih?" Tanya Jani
ketus.
"Rahasia neng geulis, mau tau aja sih lo"
"Iiish neng geulis dibilang, ok gue panggil Bejo aje yee, lo kan ga mau ngasih nama"
"Iyee Painem"
Bandung masih membuat mereka
betah berlama-lama tinggal di sana, namun mereka harus mengurus tetek bengek untuk melanjutkan
kuliah. Sudah 4 hari mereka di sana sudah saatnya pulang.
Inilah siksaan teknologi
yang kurang bisa diandalkan.
"Jan, gak pamitan apa sama si abang Bejo?"
"Buat apa? Orang kita juga gak kenal"
"Hahah tapi ganteng ya?
Aku suka deh. Tapi kayaknya dia suka sama kamu"
"Berisiiiik
Giiinaa"
***
Siang yang
malang bagi Jani, matahari
sedang tidak bersahabat di kota Solo, Jalan Ahmad Yani penuh sesak dengan mobil dan motor. Tidak ingin
berlama-lama di bawah terik matahari, Jani berhenti di cafe eskrim bersama
Gina. Iyaa, cafe ini memang sangat nikmat dan pas dikunjungi. Jani memesan Capucino es krim, dan Gina Banana Blue Es krim. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya dari
belakang,
"Heey kalian !"
Datangnya dengan suara yang lantang.
"Eh heeey, Bang Bejo? Ngapain lo disini? Hahaha" kata Jani
terheran-heran.
"Gue duduk sini yaa?"
"Iyeee. Monggo Mas Bejo" kata Gina menggoda.
Mereka bertiga mengobrol
banyak di cafe itu. Meskipun Jani adalah tipe cewek yang
aktif, namun kali ini dia merasakan ada yang berbeda dalam dirinya. Jani
menjadi canggung, salah tingkah dan selalu tampak berhati-hati menjaga ucapan
saat berhadapan dengan laki-laki yang dia panggil “Bejo” itu. Ya, Jani mulai
merasakan percakapan demi percakapan dengan laki-laki itu membuatnya tak
seperti Jani yang biasanya.
"Eh lo punya YM?
Tanya laki-laki itu kepada Jani.
"Punya, nape?"
"Gue boleh minta dong"
"Oke, YM gue Janita_dewi"
Ini sudah pertemuan kedua,
laki-laki itu masih saja memperhatikan Jani. Entah mengapa Jani
mengiyakan saja saat laki-laki itu meminta Yahoo
Messenger-nya.
"Oke mudah-mudahan bisa ketemu di YM" Batin Jani.
Sejak saat itu, Jani lebih
bersemangat dari biasanya untuk membuka YM. Berharap dia bisa bertemu dengan Si
abang Bejo. Tapi sayang, sudah dua bulan sejak pertemuan itu, Jani tidak pernah bertemu
di dunia maya.
Sampai suatu malam, di malam
minggu.
"Gilaaa, Bejo online" Teriak Jani di dalam kamar kos nya.
"Haiiii"
Laki-laki itu menyapanya.
"Haaiiii Bejoo" Jawab Jani dengan Girang.
"Kok baru
nongol?"
"Haha iyaa, kangen lo sama gue?"
Obrolan mengalir dari
keduanya, tapi ini malam minggu. Jani harus pergi, iya, Jani sudah ada janji
dengan orang lain.
"Mas Bejo, sory gue off dulu
ya, mau pergi. Bye"
Dan off, obrolan selesai. Mereka harus berpisah dengan cara yang tidak
menyenangkan. Toh harus bagaimana lagi, Jani sudah ada yang menjemput di depan
kosnya dan obrolan itu sudah cukup untuk malam ini.
***
Senyum
Damar mengembang, matanya bersinar sejenak ketika membaca sebuah pamflet
bertajuk “KONSER JAZZ” yang diadakan di Semarang. Sudah lama dia tak menonton
konser yang berkelas meski dikemas sederhana si sebuah tempat outdoor di Semarang Jawa Tengah itu.
“Baca
apa Mar?” Tanya Gagah teman sekelas Damar.
“Ah,
konser amal jazz nih gratis gak pake tiket, nonton yuk” Ajak Damar.
“Hmm,
dimana?”
“Semarang,
acaranya malam Minggu jam 7 nih, berani gak?”
“Minggu
ya? Semarang jauh banget”
“Berani
gak?”
“Oke
deh kita berangkat Jumat abis kuliah aja gimana?”
“Oke
my friend”
Mereka
berdua telah sepakat menonton konser. Gagah sepakat mengajak dua temannya lagi yang juga menggilai musik jazz, Diska dan
Fadil.
Hari
Jumat datang dengan cepat, sesuai rencana Damar, Gagah, Diska dan Fadil
berangkat ke Semarang untuk menonton konser jazz. Mereka bertolak dari Bandung
pukul empat sore menggunakan mobil milik Fadil dan tiba di Semarang keesokan
harinya.
Waktu
serasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Kini tubuh Damar dan ketiga temannya
tengah menikmati sajian musik jazz yang sudah mereka nantikan. Jam tujuh malam
langit Semarang tampak lebih gelap dari biasanya. Gemuruh mulai bersautan satu
per satu dan rintik air berjatuhan di atas ratusan penikmat musik jazz tak
terkecuali Damar, Gagah, Diska dan Fadil.
“Hey
kita lupa bawa payung nih” Kata Diska mulai merengek.
“Ah
kelupaan pas musim hujan gini malah yang penting gak kebawa” Sahut Damar.
“Siapa
bilang? Aku bawa kok buat jaga-jaga tapi ada di mobil” Ucap Fadil.
“Buruan
ambil deh keburu basah semua!” Seru Damar lagi.
Fadil
segera bergegas menuju mobil yang diparkir tak jauh dari tempat konser. Tak
sampai lima menit Fadil kembali bak pahlawan kesiangan. Hujan sepertinya tak
memberikan kesempatan untuk ketiga kawannya yang sudah basah kuyup. Payung mini itu pun sama sekali tidak memberikan solusidi tengah hujan yang sangat deras.
“Mana mungkin aku bisa
menikmati konser kalo kayak gini, sepayung mini begini untuk berempat?”
Batin Damar kesal.
Dua
lagu telah berlalu namun Damar benar-benar tak bisa menikmatinya. Tiba-tiba
tepat di depannya
berdiri seorang gadis dengan payung yang agak besar. Tampak dari belakanggadis ini tidak asing lagi bagi Damar apalagi setelah mendengar
suaranya.
“Pegang
nih payung” Ucap Damar tiba-tiba kepada Fadil.
“Eh lo mau kemana?” Tanya Fadil heran.
Damar
tak menjawab dan segera merapat dengan gadis di depannya tadi. Perlahan dia
pastikan orang itu apakah suaranya tadi benar-benar milik orang yang pernah
bertemu dengannya dulu.
“Boleh
gabung?” Ucap Damar tiba-tiba.
“Eh
kamu, ehh... kok ada di sini? mmm boleh kok” Jawab si
gadis.
“Sama
siapa?” Tanya si gadis itu lagi.
“Ah,
sama temen kok kamu sendiri sama siapa?”
“Oh
aku sama temen juga, suka jazz juga?”
“Iya
nih bela-belain dari jauh haha”
Mereka
berdua benar-benar canggung terlebih lagi si gadis manis ini sudah sangat diidamkan Damar sejak lama.
Tanpa sadar “Aku” dan “Kamu” mereka menyebut diri. Beberapa kali mata gadis itu tertangkap basah
curi-curi pandang pada Damar. Tak terasa sudah lima lagu terlewati, mereka
berdua larut dalam melodi dan harmoni musik jazz yang tiba-tiba berubah menjadi
musik romantis.
“Eh
ngomong-ngomong nama kamu
siapa
sih?
Bukan Painem kan” Kata Damar penasaran.
“Haha
bukan lah. Oiya ya,
kita belum pernah nyebutin
nama” Jani tersenyum.
“Damar”
Ucapnya sambil menjulurkan tangan.
“Owh Damar, aku Jani” Gadis itu menjabat
tangan Damar dengan lembut.
“Nama yang manis seperti orangnya”
Damar mencoba merayu.
“Bisa
aja kamu menggombal” Jani tertawa pelan.
Mereka
berdua kini asyik mengobrol dan tanpa di sadari kepala Jani bersandar di bahu
Damar. Romantis sekali dua orang ini dengan alunan musik jazz menjadi pengiring
mesra. Namun lagi-lagi mereka harus segera berpisah. Handphone Jani bergetar, ada seseorang yang menelponnya.
“Damar
maaf aku harus pergi” Ucap Jani tergesa.
“Eh,
kemana? Aku ikut” Sahut Damar.
“Jangan!
Bukannya kamu bersama teman-temanmu?” Cegah Jani sembari menarik teman
perempuannya menjauh dari Damar.
Damar
tak berkutik ditinggalkan Jani lagi seperti pertemuan-pertemuan yang telah
lalu. Jani pergi meninggalkan Damar menyisakan lagu yang belum berakhir dan
hujan yang kembali membasahi tubuhnya.
Dengan
sabar Jani menanti datangnya sebuah kereta di Stasiun Tugu Yogyakarta. Setelah
menunggu beberapa saat,
Jani
kini terduduk di dalam sebuah gerbong kereta menuju Solo. Jaket wol kuning
melekat erat ditubuhnya. Perjalanan Yogyakarta-Solo setidaknya akan makan waktu
satu jam. Cukup untuk menikmati indahnya pemandangan pagi. Jani melemparkan
muka keluar jendela yang terhias hamparan hijau sawah dan rumah-rumah yang berjajar rapi.
Sesekali dia menatap kepada penumpang kereta. Tampaknya ada seorang laki-laki
yang mengamatinya. Jani mencoba mencuri
pandang dan beberapa kali mata Jani bertemu dengan laki-laki itu. Laju kereta melambat ketika hampir
sampai di Stasiun Balapan Solo. Laki-laki itu mendekat dan tepat saat dia
berada di depan Jani mereka berdua hening sesaat.
Tubuh
laki-laki itu terdorong oleh penumpang lain yang akan turun di stasiun. Jani
pun ikut bersiap turun, namun dia tak dapat menemukan laki-laki tadi. Ada yang
aneh dengan laki-laki itu, sepertinya Jani mengenalnya. Langkah kaki Jani
menuntunnya turun dari kereta. Dia menunggu seseorang yang akan menjemputnya.
Sebuah pesan singkat telah Jani kirimkan kepada orang itu.
Kursi
panjang di pinggir stasiun menarik perhatian Jani. Tak ada hal yang membuat
nyaman selain duduk dan mengamati sekitar jika menanti seseorang. Perlahan Jani
mendekati kursi panjang itu. Namun tiba-tiba ada seorang laki-laki yang
menduduki kursi itu lebih dulu. Ya, Jani ingat laki-laki itu yang tadi
menghampirinya saat di gerbong kereta. Jani mengamati laki-laki itu dan dia
benar-benar mengenalnya.
“Damar?”
Ucap Jani dengan ragu.
“Hmmm
iya” Jawab Damar dengan ragu pula.
“Sedang
apa kamu di sini? Sama siapa?” Tanya Jani lagi kini dia duduk di samping lelaki
bernama Damar itu.
Damar
hanya terdiam mencoba mengingat siapa gadis yang mengajaknya bicara itu.
“Ah,
Jani? Kamu Jani kan?” Tanya Damar tak yakin.
Sembari
mengangguk-angguk meyakinkan Damar. “Iya aku Jani, kamu lupa sama aku?”
"Ooh engga
Jan, maaf. Mana mungkin aku lupa sama kamu. Kamu sekarang jadi
lebih cantik" ungkapnya
sembari
tertawa
membela
diri. Sebenernya
sulit
dijelaskan
pada
Jani
bahwa
Damar
sempat
melupakan
Jani
dan
sulit
untuk
mengingatnya
kembali.
“Sudahlah
jangan mulai merayuku seperti itu”
“Oh
iya sedang apa kamu di sini?” Tanya Damar ramah.
“Aku
nungguin seseorang”
“Oh
ya? Jodoh banget kita Jan,
sama-sama lagi nungguin orang”
Mereka berdua tertawa bersama dan membicarakan pertemuan-pertemuan
mereka dulu yang tak terduga. Sampai pada penghujung cerita
Damar berkata sesuatu yang membuat Jani kaget bukan main.
“Jani,
sebenarnya lima
bulan yang lalu saat konser musik jazz itu ada yang aneh”
“Aneh
gimana maksud kamu?”
“Janji
dulu jangan marah setelah aku ceritakan ini Jani”
“Oke
aku janji” Kata Jani
meyakinkan.
“Aneh
itu saat aku merasakan degup jantung yang luar biasa saat di dekat kamu, gerogi
dan mati gaya yang luar biasa saat ngomong sama kamu. Sudah lima bulan berlalu pikirku mungkin aku
tak akan ada harapan lagi bertemu denganmu. Ada yang mengganjal di sini Jani”
Jelas Damar dengan jemari menunjuk ke dadanya.
“Memangnya
ada apa? Apa yang membuatmu mengganjal?”
“Kamu
serius ingin mengetahuinya? Berjanjilah jangan pergi dan menjauh setelah ini”
“Iya, ada apa sih?”
“Bagaimana
jika aku suka sama kamu Jani? Ya, aku suka sama kamu sejak pertemuan-pertemuan
kita yang tak terduga itu”
Jani
hanya diam dan memejamkan matanya lalu kepalanya tertunduk.
“Ada
yang salah pada diri ini Damar, maukah kamu tahu? Aku juga suka sama kamu. Tapi
aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Aku hanya bisa bermimpi dan menunggumu
menyatakan perasaaanmu itu”
“Jika memang begitu?
Maukah kamu jadi pacarku Jani?” Seperti itulah
kata-kata yang siap diluncurkan Damar, atau mungkin dia harus meminta maaf
terlebih dulu telah membuat Jani menunggunya.
“Maaf
ya Jani udah bikin kamu nunggu” Ucap laki-laki bernama Erik.
“ERIK?!”
Damar terhenyak kaget.
“Lho
Damar? Aku cariin kamu muter-muter eh ternyata di sini” Ucap Erik tak kalah
kaget.
“Lho
kalian berdua kenal?” Tanya Jani pendek.
“Bentar-bentar,
Erik ini temanku Jani”
Terang Damar kepada Jani.
“Dan
Jani ini pacarku” Terang Erik kepada Damar.
“Hah!!
Kalian berdua pacaran?!” Damar benar-benar kaget kali ini.
Erik
dan Jani hanya menjawab dengan anggukan dan Damar masih pusing dibuatnya. Damar
tak tahu lagi harus berucap dan tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
Jauh-jauh dari Bandung berlibur di Solo untuk mencoba melupakan bayang-bayang Jani dan ternyata
mereka malah bertemu lagi dengan disertai fakta yang sangat pahit untuk Damar.
Begitu pula dengan Jani, dia pun kecewa dengan Damar lantaran tak dari dulu
Damar menyatakan perasaannya itu. Sudah terlambat, Erik dan Jani telah
pacaran lima bulan yang lalu tepat saat Jani bertemu dengan Damar di konser
itu. Jani kuliah di Semarang dan Erik kuliah di Solo mereka berdua pacaran
terpisah jarak.
Damar
yang patah hatinya memutuskan untuk kembali ke Bandung. Dia tak menghiraukan
Erik saat itu. Damar masih tak percaya teman dekatnya lebih dulu mendapatkan
pujaan hatinya. Damar pulang menerima kekalahannya.
***
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar