Di Antara Bangku Kereta


Prolog : Sebenarnya ini bukan karya saya seorang, tetapi kolaborasi dengan cerpenis @gardeatyas September 2013. cekidot.... :)

Hangat mentari meresap ke tubuh laki-laki yang baru saja terbangun dari tidurnya. Perlahan kedua bola matanya mencoba melihat keindahan dunia yang Tuhan berikan. Laki-laki itu terpejam dan menonjolkan hidungnya seakan dia bisa mencium aroma udara pagi di luar sana. Namun percuma saja yang tercium hanyalah aroma pengap sebuah gerbong kereta. Laki-laki bernama Damar itu duduk di salah satu bangku kereta jurusan Solo. Sekian lama dia  menikmati hamparan hijau yang tersapu angin. Rumah, sawah, dan pemandangan itu sedang beradu lari dengan kereta, saling mengejar. Hanya Damar yang terdiam dan semakin cepat kereta itu melaju semakin cepat pula Damar meninggalkan rumahnya di Bandung.
Sudah lebih dari enam jam Damar terduduk di bangku kereta itu. Sudah belasan kali pedagang asongan menghampirinya menawarkan ini dan itu. Ah, sudah berapa stasiun yang dilewatinya. Pukul delapan pagi, Damar tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Tak ada yang istimewa dengan stasiun itu. Sama dengan stasiun-stasiun lain yang telah dilihatnya lebih dulu. Pandangan Damar kini beralih pada penumpang yang keluar masuk gerbong.
“Ah, sampai jam berapa nanti aku di Solo?” Batinnya dengan tak sabar.

Tak lama kereta kembali melaju ke tujuan berikutnya, Solo. Kepala Damar terbenam kembali pada bangku yang terbuat dari besi panjang itu. Mata penat dan udara sengap melengkapi perjalanannya. Kali ini kereta melaju tak terlalu cepat. Mungkin ingin memanjakan mata para penumpangnya dengan pemandangan sepanjang Yogyakarta-Solo. Namun mata Damar sudah lelah memandang apa yang disajikan jendela kereta itu. Entah mengapa sekarang dia jenuh dengan suasana di luar kereta. Sementara penumpang di dalam gerbong kereta mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Damar kini mengamati satu per satu gelagat penumpang-penumpang itu. Sebagian besar memalingkan mukanya keluar jendela, sebagian lagi mereka yang tidur karena tak kuasa menghadapi rasa lelah, ada pula yang berbincang-bincang dengan orang di sebelahnya, sedangkan sisanya mereka yang sudah tahu cara menikmati hidupnya. Damar menghentikan tatapan matanya pada salah seorang penumpang kereta. Orang yang tak asing dalam benak Damar. Pelan-pelan dia mengamati  gadis dengan rambut sebahu dan alis yang sabit serta jaket wol kuning melekat di tubuhnya. Damar mencoba mengingat gadis itu dan namanya. Sempat beberapa kali mata Damar dan gadis itu bertemu, namun setelahnya hanya bisa memalingkan pandangan. Gadis itu pun terlihat canggung saat bertatapan dengan Damar. Dan Damar tak bisa lagi berbohong, memang dia sedang mengamati gadis manis itu.
“Ah, siapa namanya?Tanyanya dalam hati.
Damar terlalu lemah untuk beradu kekuatan dengan egonya yang mencoba untuk tetap diam dan menjadi penumpang yang baik. Namun rasa penasaran lebih unggul dari egonya. Damar mulai tak tenang, perlahan dia bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu. Satu dua tiga langkah semakin mendekat mengantarkan raganya berdiri tepat di seberang gadis yang membuatnya penasaran. Dengan jelas, kedua mata itu bertatapan, saling melihat warna pupil masing-masing. Mereka hening sejenak sebelum sapa pertama terucap.
Tiba-tiba tubuh Damar terdorong ke depan oleh beberapa orang di belakangnya. Laju kereta melambat ketika tiba di Stasiun Balapan Solo. Para penumpang mulai riuh berjejalan turun di stasiun itu. Damar mencoba melawan arus penumpang di dalam gerbong mencari gadis berjaket wol kuning tadi. Terlambat bagi Damar hanya bertemu dengan kosong, yakni bangku yang diduduki oleh gadis itu.
“Sial!! kemana dia?” Geram Damar dengan muka masam, Seolah-olah sudah melewatkan kesempatan sekali seumur hidup dengan keberuntungan.


Damar kesal kehilangan jejak gadis itu. Baru saja dia akan menyapanya. Tapi nasib baik sedang tidak memihaknya. Kini Damar telah sampai di tempat tujuan. Solo masih saja memberikan senyuman hangat kepada para pendatang. Dengan senyum mengembang dan bangga, Damar ingin bergegas keluar dari pintu stasiun. Tapi dengan bijaksana Damar ingin mengisi perutnya yang sedari tadi malam tidak terisi.
“Grrrrttt...grrrtt...” Handphone Damar bergetar dalam sakunya.
“Halo Erik” Kata Damar dengan tegas.
“Halo Damar kamu sampai mana?”
“Aku udah sampai di Stasiun Solo nih”
“Oke tunggu di situ aku jemput, 10 menit lagi aku sampai”
“Oke Rik aku tunggu”
Sepuluh menit bukanlah waktu yang lama bagi Damar. Dia khawatir tak akan selesai makan dalam waktu secepat itu. Akhirnya masih di stasiun yang sama, Damar duduk sendirian di kursi panjang sembari menikmati sepotong roti yang baru saja dia beli. Saking laparnya, Damar larut dengan roti itu dan tidak memperdulikan keadaan sekitar. Tiba-tiba terdengar suara perempuan yang tidak asing buat Damar.
“Damar??” Ucap gadis itu dengan ragu.
Hmmm, ya?” Jawab Damar yang juga ragu namun tetap memalingkan muka pada dia yang sudah menyapanya.
“Kamu Damar kan?” Ucap gadis itu lagi meyakinkan dirinya sendiri.
Damar hanya bisa diam antara grogi dan bingung. Gadis yang tadi sempat menghilang di dalam gerbong kini duduk tepat berada di sampingnya di kursi tunggu stasiun itu. Segenap tenaga Damar tumpahkan untuk menemukan nama gadis berjaket wol kuning itu. Mereka berdua kembali hening saling berbicara lewat mata. Sejenak Damar terpejam menggali dan menggali terus memori yang pernah dia dapatkan bersama gadis itu. Dan perlahan senyum Damar mengembang ada secercah kenangan yang ditemukannya, matanya mulai bersinar. Ya, akhirnya Damar ingat siapa nama gadis dengan jaket wol kuning yang melekat ditubuhnya itu.
***
Panas dan kering, Setidaknya dua kata itu mewakili kondisi kota Semarang. Jani bukan gadis yang hanya bisa berdiam diri di kamar dan tidur seharian. Apalagi dengan suasana kota Semarang hanya akan membuatnya bosan. Sudah menjadi hal yang biasa ketika libur tiba, maka dia akan mencari cara untuk mengisi waktu luang. Kali ini, saat liburan semester Jani, Gina dan Yeni pergi berlibur ke kota kembang. Bandung.
Jan, ntar kita maen ke Trans Studio aja, gimana? Dago? Nyari stok cowok di Bandung beb pasti melimpah deh.” Ajak si centil Yeni dengan semangat.
“Yeeeee maunyaaaaa” Sahut Gina dan Jani pada Yeni.
Perjalanan  itu berlanjut di tiga hari kemudian. Bukan menjadi hal yang pertama bagi mereka, tapi beginilah mereka lebih senang bepergian menggunakan bus dan angkutan umum.
Siang itu mereka sampai pada tempat tujuan, Dago. Ah ya, tempat ini memang selalu menjadi tepat special bagi siapa saja yang berkunjung ke Bandung. Sudah saatnya makan siang dan si gendut Gina merengek meminta makan pada kedua temannya. Sampailah mereka di sebuah rumah makan di pinggir jalan itu. Duduk bertiga dan Jani merasa ada yang aneh dengan dirinya.
“Ada yang aneh ya Yen sama aku?”
“Duuuh kenapa emang Jan? Engga ada kok, kamu tetep cantik seperti biasanya. Hahaha”
“Eehh menurut aku, bukan kamu yang aneh deh Jan. Tapi cowok seberang meja kita. Lihat deh !! Dari tadi kita dateng, dia ngeliatin meja ini terus, kalau aku engga salah, dia ngeliatin kamu terus.” Tebak Gina sok tahu. Tapi usut diusut, melalui pengintaian selama beberapa menit, memang benar, laki-laki itu memperhatikan Jani.
Selang beberapa waktu, Jani yang penasaran pun menghampiri laki-laki itu. Jurus SOK Kenal SOK Dekat pun segera diaktifkan,
"Permisi bang, abang asli orang sini kan? Begini nih, saya mau nanya alamat ini dong bang?"
"Oiyaa neng, pendatang ya? Dari mana??"
Bukan malah memberi tahu alamat, tapi laki-laki itu mengajak Jani dan kawan-kawannya mengobrol. Memakan waktu 30 menit hanya untuk menanyakan alamat tempat mereka menginap nanti.
"Sudah tau tempat-tempat asik di Bandung?" Kata laki-laki itu.
"Cuma tau Dago sama Trans Studio doang. Kita buta arah dan buta segalanya di sini" Jawab si centil Yeni.
"Oh, sayang banget cuma pergi ke situ doang. Masih banyak tempat asik yang lain di Bandung. Mau tau tempatnya?"
"Iyaa iyaa bang bolehlah, besok pukul 10 kita ketemu di sini ya bang sekalian anterin juga boleh" kata Yeni bersemangat
Hari-hari berikutnya mereka bertiga ditemani laki-laki itu berjalan-jalan keliling kota Bandung.
"Bang, nama lo siapa sih?" Tanya Jani ketus.
"Rahasia neng geulis, mau tau aja sih lo"
"Iiish neng geulis dibilang, ok gue panggil Bejo aje yee, lo kan ga mau ngasih nama"
"Iyee Painem"
Bandung masih membuat mereka betah berlama-lama tinggal di sana, namun mereka harus mengurus tetek bengek untuk melanjutkan kuliah. Sudah 4 hari mereka di sana sudah saatnya pulang. Inilah siksaan teknologi yang kurang bisa diandalkan.
"Jan, gak pamitan apa sama si abang Bejo?"
"Buat apa? Orang kita juga gak kenal"
"Hahah tapi ganteng ya? Aku suka deh. Tapi kayaknya dia suka sama kamu"
"Berisiiiik Giiinaa"
***
Siang yang malang bagi Jani, matahari sedang tidak bersahabat di kota Solo, Jalan Ahmad Yani penuh sesak dengan mobil dan motor. Tidak ingin berlama-lama di bawah terik matahari, Jani berhenti di cafe eskrim bersama Gina. Iyaa, cafe ini memang sangat nikmat dan pas dikunjungi. Jani memesan Capucino es krim, dan Gina Banana Blue Es krim. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang,
"Heey kalian !" Datangnya dengan suara yang lantang.
"Eh heeey, Bang Bejo? Ngapain lo disini? Hahaha" kata Jani terheran-heran.
"Gue duduk sini yaa?"
"Iyeee. Monggo Mas Bejo" kata Gina menggoda.
Mereka bertiga mengobrol banyak di cafe itu. Meskipun Jani adalah tipe cewek yang aktif, namun kali ini dia merasakan ada yang berbeda dalam dirinya. Jani menjadi canggung, salah tingkah dan selalu tampak berhati-hati menjaga ucapan saat berhadapan dengan laki-laki yang dia panggil “Bejo” itu. Ya, Jani mulai merasakan percakapan demi percakapan dengan laki-laki itu membuatnya tak seperti Jani yang biasanya.
"Eh lo punya YM? Tanya laki-laki itu kepada Jani.
"Punya, nape?"
"Gue boleh minta dong"
"Oke, YM gue Janita_dewi"
Ini sudah pertemuan kedua, laki-laki itu masih saja memperhatikan Jani. Entah mengapa Jani mengiyakan saja saat laki-laki itu meminta Yahoo Messenger-nya.
"Oke mudah-mudahan bisa ketemu di YM" Batin Jani.
Sejak saat itu, Jani lebih bersemangat dari biasanya untuk membuka YM. Berharap dia bisa bertemu dengan Si abang Bejo. Tapi sayang, sudah dua bulan sejak pertemuan itu, Jani tidak pernah bertemu di dunia maya.
Sampai suatu malam, di malam minggu.
"Gilaaa, Bejo online" Teriak Jani di dalam kamar kos nya.
"Haiiii" Laki-laki itu menyapanya.
"Haaiiii Bejoo" Jawab Jani dengan Girang.
"Kok baru nongol?"
"Haha iyaa, kangen lo sama gue?"
Obrolan mengalir dari keduanya, tapi ini malam minggu. Jani harus pergi, iya, Jani sudah ada janji dengan orang lain.
"Mas Bejo, sory gue off dulu ya, mau pergi. Bye"
Dan off, obrolan selesai. Mereka harus berpisah dengan cara yang tidak menyenangkan. Toh harus bagaimana lagi, Jani sudah ada yang menjemput di depan kosnya dan obrolan itu sudah cukup untuk malam ini.
 ***
Senyum Damar mengembang, matanya bersinar sejenak ketika membaca sebuah pamflet bertajuk “KONSER JAZZ” yang diadakan di Semarang. Sudah lama dia tak menonton konser yang berkelas meski dikemas sederhana si sebuah tempat outdoor di Semarang Jawa Tengah itu.
“Baca apa Mar?” Tanya Gagah teman sekelas Damar.
“Ah, konser amal jazz nih gratis gak pake tiket, nonton yuk” Ajak Damar.
“Hmm, dimana?”
“Semarang, acaranya malam Minggu jam 7 nih, berani gak?”
“Minggu ya? Semarang jauh banget”
“Berani gak?”
“Oke deh kita berangkat Jumat abis kuliah aja gimana?”
“Oke my friend
Mereka berdua telah sepakat menonton konser. Gagah sepakat mengajak dua temannya lagi yang juga menggilai musik jazz, Diska dan Fadil.
Hari Jumat datang dengan cepat, sesuai rencana Damar, Gagah, Diska dan Fadil berangkat ke Semarang untuk menonton konser jazz. Mereka bertolak dari Bandung pukul empat sore menggunakan mobil milik Fadil dan tiba di Semarang keesokan harinya.
Waktu serasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Kini tubuh Damar dan ketiga temannya tengah menikmati sajian musik jazz yang sudah mereka nantikan. Jam tujuh malam langit Semarang tampak lebih gelap dari biasanya. Gemuruh mulai bersautan satu per satu dan rintik air berjatuhan di atas ratusan penikmat musik jazz tak terkecuali Damar, Gagah, Diska dan Fadil.
“Hey kita lupa bawa payung nih” Kata Diska mulai merengek.
“Ah kelupaan pas musim hujan gini malah yang penting gak kebawa” Sahut Damar.
“Siapa bilang? Aku bawa kok buat jaga-jaga tapi ada di mobil” Ucap Fadil.
“Buruan ambil deh keburu basah semua!” Seru Damar lagi.
Fadil segera bergegas menuju mobil yang diparkir tak jauh dari tempat konser. Tak sampai lima menit Fadil kembali bak pahlawan kesiangan. Hujan sepertinya tak memberikan kesempatan untuk ketiga kawannya yang sudah basah kuyup. Payung mini itu pun sama sekali tidak memberikan solusidi tengah hujan yang sangat deras.
“Mana mungkin aku bisa menikmati konser kalo kayak gini, sepayung mini begini untuk berempat?” Batin Damar kesal.
Dua lagu telah berlalu namun Damar benar-benar tak bisa menikmatinya. Tiba-tiba tepat di depannya berdiri seorang gadis dengan payung yang agak besar. Tampak dari belakanggadis ini tidak asing lagi bagi Damar apalagi setelah mendengar suaranya.
“Pegang nih payung” Ucap Damar tiba-tiba kepada Fadil.
“Eh lo mau kemana?” Tanya Fadil heran.
Damar tak menjawab dan segera merapat dengan gadis di depannya tadi. Perlahan dia pastikan orang itu apakah suaranya tadi benar-benar milik orang yang pernah bertemu dengannya dulu.
“Boleh gabung?” Ucap Damar tiba-tiba.
“Eh kamu, ehh...  kok ada di sini? mmm boleh kok” Jawab si gadis.
“Sama siapa?” Tanya si gadis itu lagi.
“Ah, sama temen kok kamu sendiri sama siapa?”
“Oh aku sama temen juga, suka jazz juga?”
“Iya nih bela-belain dari jauh haha”
Mereka berdua benar-benar canggung terlebih lagi si gadis manis ini sudah sangat diidamkan Damar sejak lama. Tanpa sadar “Aku” dan “Kamu” mereka menyebut diri. Beberapa kali mata gadis itu tertangkap basah curi-curi pandang pada Damar. Tak terasa sudah lima lagu terlewati, mereka berdua larut dalam melodi dan harmoni musik jazz yang tiba-tiba berubah menjadi musik romantis.
“Eh ngomong-ngomong nama kamu siapa sih? Bukan Painem kan” Kata Damar penasaran.
“Haha bukan lah. Oiya ya, kita belum pernah nyebutin nama” Jani tersenyum.
“Damar” Ucapnya sambil menjulurkan tangan.
Owh Damar, aku Jani” Gadis itu menjabat tangan Damar dengan lembut.
Nama yang manis seperti orangnya” Damar mencoba merayu.
“Bisa aja kamu menggombal” Jani tertawa pelan.
Mereka berdua kini asyik mengobrol dan tanpa di sadari kepala Jani bersandar di bahu Damar. Romantis sekali dua orang ini dengan alunan musik jazz menjadi pengiring mesra. Namun lagi-lagi mereka harus segera berpisah. Handphone Jani bergetar, ada seseorang yang menelponnya.
“Damar maaf aku harus pergi” Ucap Jani tergesa.
“Eh, kemana? Aku ikut” Sahut Damar.
“Jangan! Bukannya kamu bersama teman-temanmu?” Cegah Jani sembari menarik teman perempuannya menjauh dari Damar.
Damar tak berkutik ditinggalkan Jani lagi seperti pertemuan-pertemuan yang telah lalu. Jani pergi meninggalkan Damar menyisakan lagu yang belum berakhir dan hujan yang kembali membasahi tubuhnya.
***
Dengan sabar Jani menanti datangnya sebuah kereta di Stasiun Tugu Yogyakarta. Setelah menunggu beberapa saat, Jani kini terduduk di dalam sebuah gerbong kereta menuju Solo. Jaket wol kuning melekat erat ditubuhnya. Perjalanan Yogyakarta-Solo setidaknya akan makan waktu satu jam. Cukup untuk menikmati indahnya pemandangan pagi. Jani melemparkan muka keluar jendela yang terhias hamparan hijau sawah dan rumah-rumah yang berjajar rapi. Sesekali dia menatap kepada penumpang kereta. Tampaknya ada seorang laki-laki yang mengamatinya. Jani mencoba mencuri pandang dan beberapa kali mata Jani bertemu dengan laki-laki itu. Laju kereta melambat ketika hampir sampai di Stasiun Balapan Solo. Laki-laki itu mendekat dan tepat saat dia berada di depan Jani mereka berdua hening sesaat.
Tubuh laki-laki itu terdorong oleh penumpang lain yang akan turun di stasiun. Jani pun ikut bersiap turun, namun dia tak dapat menemukan laki-laki tadi. Ada yang aneh dengan laki-laki itu, sepertinya Jani mengenalnya. Langkah kaki Jani menuntunnya turun dari kereta. Dia menunggu seseorang yang akan menjemputnya. Sebuah pesan singkat telah Jani kirimkan kepada orang itu.
Kursi panjang di pinggir stasiun menarik perhatian Jani. Tak ada hal yang membuat nyaman selain duduk dan mengamati sekitar jika menanti seseorang. Perlahan Jani mendekati kursi panjang itu. Namun tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menduduki kursi itu lebih dulu. Ya, Jani ingat laki-laki itu yang tadi menghampirinya saat di gerbong kereta. Jani mengamati laki-laki itu dan dia benar-benar mengenalnya.
“Damar?” Ucap Jani dengan ragu.
“Hmmm iya” Jawab Damar dengan ragu pula.
“Sedang apa kamu di sini? Sama siapa?” Tanya Jani lagi kini dia duduk di samping lelaki bernama Damar itu.
Damar hanya terdiam mencoba mengingat siapa gadis yang mengajaknya bicara itu.
“Ah, Jani? Kamu Jani kan?” Tanya Damar tak yakin.
Sembari mengangguk-angguk meyakinkan Damar. “Iya aku Jani, kamu lupa sama aku?”
"Ooh engga Jan, maaf. Mana mungkin aku lupa sama kamu. Kamu sekarang jadi lebih cantik" ungkapnya sembari tertawa membela diri. Sebenernya sulit dijelaskan pada Jani bahwa Damar sempat melupakan Jani dan sulit untuk mengingatnya kembali.
“Sudahlah jangan mulai merayuku seperti itu”
“Oh iya sedang apa kamu di sini?” Tanya Damar ramah.
“Aku nungguin seseorang”
“Oh ya? Jodoh banget kita Jan, sama-sama lagi nungguin orang”
Mereka berdua tertawa bersama dan membicarakan pertemuan-pertemuan mereka dulu yang tak terduga. Sampai pada penghujung cerita Damar berkata sesuatu yang membuat Jani kaget bukan main.
“Jani, sebenarnya lima bulan yang lalu saat konser musik jazz itu ada yang aneh”
“Aneh gimana maksud kamu?”
“Janji dulu jangan marah setelah aku ceritakan ini Jani”
“Oke aku janji” Kata Jani meyakinkan.
“Aneh itu saat aku merasakan degup jantung yang luar biasa saat di dekat kamu, gerogi dan mati gaya yang luar biasa saat ngomong sama kamu. Sudah lima bulan berlalu pikirku mungkin aku tak akan ada harapan lagi bertemu denganmu. Ada yang mengganjal di sini Jani” Jelas Damar dengan jemari menunjuk ke dadanya.
“Memangnya ada apa? Apa yang membuatmu mengganjal?”
“Kamu serius ingin mengetahuinya? Berjanjilah jangan pergi dan menjauh setelah ini”
“Iya, ada apa sih?”
“Bagaimana jika aku suka sama kamu Jani? Ya, aku suka sama kamu sejak pertemuan-pertemuan kita yang tak terduga itu”
Jani hanya diam dan memejamkan matanya lalu kepalanya tertunduk.
“Ada yang salah pada diri ini Damar, maukah kamu tahu? Aku juga suka sama kamu. Tapi aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Aku hanya bisa bermimpi dan menunggumu menyatakan perasaaanmu itu”
“Jika memang begitu? Maukah kamu jadi pacarku Jani?” Seperti itulah kata-kata yang siap diluncurkan Damar, atau mungkin dia harus meminta maaf terlebih dulu telah membuat Jani menunggunya.
“Maaf ya Jani udah bikin kamu nunggu” Ucap laki-laki bernama Erik.
“ERIK?!” Damar terhenyak kaget.
“Lho Damar? Aku cariin kamu muter-muter eh ternyata di sini” Ucap Erik tak kalah kaget.
“Lho kalian berdua kenal?” Tanya Jani pendek.
“Bentar-bentar, Erik ini temanku Jani” Terang Damar kepada Jani.
“Dan Jani ini pacarku” Terang Erik kepada Damar.
“Hah!! Kalian berdua pacaran?!” Damar benar-benar kaget kali ini.
Erik dan Jani hanya menjawab dengan anggukan dan Damar masih pusing dibuatnya. Damar tak tahu lagi harus berucap dan tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Jauh-jauh dari Bandung berlibur di Solo untuk mencoba melupakan bayang-bayang Jani dan ternyata mereka malah bertemu lagi dengan disertai fakta yang sangat pahit untuk Damar. Begitu pula dengan Jani, dia pun kecewa dengan Damar lantaran tak dari dulu Damar menyatakan perasaannya itu. Sudah terlambat, Erik dan Jani telah pacaran lima bulan yang lalu tepat saat Jani bertemu dengan Damar di konser itu. Jani kuliah di Semarang dan Erik kuliah di Solo mereka berdua pacaran terpisah jarak.
Damar yang patah hatinya memutuskan untuk kembali ke Bandung. Dia tak menghiraukan Erik saat itu. Damar masih tak percaya teman dekatnya lebih dulu mendapatkan pujaan hatinya. Damar pulang menerima kekalahannya.

***

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 komentar:

Posting Komentar