Stop Crying Your Heart Out




Kabut pagi sekitar pukul 06.00 tanganku gemetar menahan dingin udara yang kali ini berbeda dari biasanya. Cuaca akhir-akhir ini memang tak jelas gerangan. Tubuhku melaju 60 km/jam di atas motor matic merah. Motor seorang teman yang sudah merelakan waktu tidurnya untuk mengantarku ke stasiun pagi ini. Laju motor melambat memasuki pintu peron. Aku sampai di stasiun tempat dahulu aku mengantarmu malam itu. Aku hanya memandang dari ruang tunggu saat langkah kakimu pelan menjauhkan kita. Aku masih ingat pukul berapa, dimana kita duduk menunggu kereta, sampai warna sepatu yang kau pakai malam itu. Aku hanya tak ingat nama kereta malam yang kau naiki. Ah, kali ini aku akan merasakan saat-saat itu lagi. Menunggu kereta, menyiapkan tiket, mengucapkan salam perpisahan pada orang yang mengantar, membawa tas berat dan ribet. Pukul 07.00 tepat terdengar deru kuda besi datang dari arah barat. Keretaku masuk di jalur dua menggandeng delapan gerbong warna oranye. Gerbong 7 tertulis di tiket yang sedang kupegang. Kedua kakiku mengantarkan aku memasuki gerbong yang cukup lebar. Gerbong ini tidak seperti yang kubayangkan. Pengap, kotor, penuh sesak seperti itulah cerita teman-temanku yang pernah merasakan kereta kelas ekonomi. Tetapi sekarang sudah berbeda. Keretaku ini kelas ekonomi dan sudah ber-AC serta penumpang yang sesuai dengan kuota.

Dari balik jendela gerbong kereta yang melaju 60 km/jam, aku meninggalkan kota Purwokerto menuju Yogyakarta. Jam melingkar di pergelangan tangan menunjukkan pukul 08.00 tepat. Mataku berat menyisakan rasa kantuk dari efek lembur semalam. Yogyakarta, aku akan bertemu dengan seseorang untuk menikmati sisa-sisa akhir tahun. Masih ada beberapa jam untuk sampai di kota gudeg. Aku bisa terpejam sejenak mengistirahatkan mataku yang berat.
Tidurku terusik isak tangis seorang gadis yang duduk di depanku. Entah kapan dia ada di situ dan dari stasiun mana dia naik kereta ini. Sayu mataku terbuka pelan mencari tahu siapa gerangan si gadis itu. Muka oval dengan kulit putih yang natural. Rambut terikat ke belakang memperlihatkan dahinya yang lebar. Matanya bulat bersembunyi di balik kacamata dan alis hitam sabit yang menawan. Cantik. Mungkin akan lebih cantik saat dia tak menangis. Aku hanya mendiamkan saja selama beberapa menit. Namun lama-lama jenuh pula suasana yang tak enak ini.
“Mbak kenapa?” Tanyaku pelan.
“Oh, gak papa kok” Jawab gadis itu menyeka air matanya.
“Bener gak papa?” Tanyaku lagi meyakinkan.
Gadis itu hanya mengangguk sambil mengangkat senyum meyakinkanku. Baiklah, mungkin memang bukan urusanku tapi gadis ini tak berhenti menangis. Meski kali ini tidak terdengar isaknya, namun air mata itu terus menetes.
“Mbak yakin gak papa?” Tanyaku untuk yang kedua kalinya.
Dia hanya mengangguk sembari menggenggam handphone sedari tadi. Sepertinya telah terjadi sesuatu yang mengguncang hati gadis cantik itu.
“Turun di stasiun mana mbak?”
“Lempuyangan Jogja mas”
“Oh sama deh kalo gitu”
Gadis itu hanya tersenyum sembari menyeka air matanya.
“Mas dari mana?”
“Ah, saya dari Purwokerto mbak”
“Oh, sama siapa mas?”
“Sendiri, mbak sama siapa ke Jogja?”
“Sendiri juga”
Aneh, gadis itu tiba-tiba jadi komunikatif denganku. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan agar aku tak menanyakan apa yang sedang terjadi padanya. Sejenak kami terdiam menikmati pemandangan hijau yang damai. Gadis itu mengenakan kemeja bergaris hitam putih. Sekarang dia sibuk mengambil sesuatu dari dalam tas yang tergeletak di samping kiri. Sebuah novel dibukanya lembar demi lembar sampai pada pembatas yang memisahkan halaman satu dengan halaman lain. Gadis itu sedikit memamerkan sampul novel yang dibacanya. Ah, itu novel yang kebetulan sedang aku cari. Aku memperhatikan terus si gadis cantik yang tampak tak konsentrasi dengan novel yang dibacanya. Sontak aku ingin meminjam novel itu.
“Hm, suka baca novel ya mbak?”
“Ah, gak juga kok. Aku pinjem dari temenku mas. Kebetulan ceritanya aku suka”
“Oh, udah sampai mana bacanya? Kayaknya udah mau selesai ya?”
“Enggak, aku bacanya nggak urut mas”
“Oh, begitu”
“Mas mau pinjem?”
Ah, kebetulan macam apa baru saja aku ingin berkata untuk meminjam novel itu. Gadis itu mendahuluiku menawari novelnya.
“Boleh” Jawabku singkat.
Tak lama novel itu berpindah ke tanganku. Benar-benar novel yang sudah lama kucari-cari. Baru saja aku selesai satu bab, gadis di depanku itu kembali meneteskan air mata. Ternyata aku salah waktu meminjam novel itu. Segera aku kembalikan novel yang sebenarnya masih ingin kubaca agar gadis itu tak kehilangan waktu berharganya hanya untuk menangis. Entah aku tak tahu apa yang dia tangisi. Perlahan dia buka kembali halaman yang tadi sempat ditinggalkan.
“Wow lirik ini maknanya dalam” Ucap gadis itu.
“Lirik lagu apa?”
Gadis itu menyodorkan tulisan di dalam novel. Sepenggal lirik yang sangat aku kenal. Ya, lagu yang selalu kudengarkan di saat aku membutuhkan semangat untuk bangkit kembali.
“Ah, lirik ini... mbak mau dengar lagunya?” Tawarku.
“Mas punya?”
Tanpa perlu banyak kata, kuambil handphone dan earphone yang kebetulan kukantongi.
“Dengerin aja mbak, aku juga suka banget lagu ini” Ucapku sambil memberikan salah satu earphone.
Kami berdua larut dalam laju nada dan melodi sebuah lagu. Mataku terpejam jika mendengar lagu ini begitu pula dengan gadis di depanku. Lagu mulai masuk pada bagian akhir seiring dengan itu pula mataku terbuka perlahan. Ternyata aku sudah sampai di tempat tujuan. Stasiun Lempuyangan Yogyakarta pukul 10.00 pagi. Ah, cepat sekali dan tak terasa aku sudah sampai. Tapi aku merasa aneh, dimana gadis yang duduk di depanku tadi? Dia menghilang lenyap dari alam bawah sadarku. Hmm, lagi-lagi aku bermimpi tentang si gadis cantik. Tentang pertemuan kita.
***
Fea, sebuah nama yang belakangan ini kupikirkan. Mengapa? Entahlah, mungkin karena beberapa jam lagi pergantian tahun. Ah, lalu kenapa harus dia yang terbesit di kepalaku? Aku tak punya hak mengajaknya bertemu saat pergantian tahun nanti. Tentu saja dia bukan siapa-siapaku lagi. Mungkin Fea yang cantik itu sudah bersanding dengan laki-laki lain. Yang pasti aku membencimu tapi juga mencintaimu. Ya Tuhan Engkau yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Berikan aku kekuatan untuk menjalani cobaan hidup ini dan selalu berikan aku yang terbaik. Hidup, mati, rejeki dan jodohku hanya Engkau yang maha mengetahui. Aku benar-benar tak akan menyangka kejadian sore itu. Hanya kata-kata itu yang selalu ingin kulupakan namun malah sebaliknya selalu terngingiang di kepala.
“Kita putus!” Ucap Fea lantang.
“Putus? Apa alasanmu memutuskan hubungan ini?”
“Sudah jelas kan? Apa perlu sebut nama cewek simpananmu itu?”
“Astaga! Siapa? Gia? Aku gak selingkuh Fea. Ya ampun aku dan Gia itu cuma teman. Kami sedang diskusi untuk acara reuni SMA bulan depan”
“Masa bodoh! Kamu kira aku gak tau? Udahlah aku malas membahasnya pokoknya kita selesai sampai di sini!”
“Fea...!”
“Pergi! Pergi kamu dari sini. Aku gak pengen liat kamu lagi” Fea mendorongku keluar dari rumahnya
“Braaaaaaakk!” Pintu rumah Fea tertutup rapat.
Di saat itu pula hujan turun dengan derasnya. Entah suasana ini seperti mendukungku untuk tetap berada di rumah Fea. Gadis yang setahun lalu bertemu denganku di gerbong kereta itu memutuskanku. Setahun  pula aku dan dia berpacaran. Sungguh mengapa wanita itu tak pernah mau mendengar penjelasan logis dari laki-laki. Apakah perasaannya yang telah membutakan jalan pikiran sehingga mereka tak bisa mencerna dengan bijak. Lalu jika sudah begini, apa yang harus kulakukan. Meminta belas kasihannya kah agar dia mau memaafkanku? Haruskah aku menangis di hadapannya agar dia percaya kepadaku? Atau kuserahkan pada waktu? Sore itu langit masih saja kelabu di akhir usianya. Hari itu adalah hari terakhir sebelum pergantian tahun. Ya, setahun yang lalu malam tahun baruku benar-benar suram. Banyak teman dan saudara yang mengajak menikmati pergantian tahun dan pesta kembang api. Aku menolak ajakan mereka. Aku memilih pergi jauh entah kemana. Malam tahun baru yang lalu aku duduk di bangku kereta menuju Surabaya. Tak peduli apa kata orang-orang sekelilingku. Mereka bilang hanya aku yang terlihat murung saat waktu mendekati masa-masa terakhirnya. Ya, mungkin hubungan kami ini mungkin ibarat waktu pergantian tahun. Berpisah dengan tahun yang lama dan bertemu dengan tahun yang baru. Jika Fea adalah tahun lamaku, lalu siapa orang di tahun baruku?
***
“Ada yang hilang dari perasaanku
Yang terlanjur sudah kuberikan padamu
Ternyata aku tak berarti tanpamu
Berharap kau tetap di sini
Berharap dan berharap lagi”
Aku membencimu Fea. Mungkin kau juga membenciku. Tetapi aku masih mencintaimu. Mungkinkah kau juga masih mencintaiku? Ada yang hilang dariku hingga hari ini. Hari menjelang pergantian tahun tepat saat kau putuskan cintamu sore itu. Baru saja Ipang berlalu dengan lagunya “Ada yang hilang” Lirik itu benar-benar mewakili perasaanku saat ini. Ya sudahlah, aku di sini bukan untuk merenungimu. Jogja adalah tawaran seorang temanku untuk merayakan pergantian tahun.
“Halo Gia kamu dimana?” Tanyaku
“Aku sedang dalam perjalanan”
“Masih lama ya?”
“Tunggu 20 menit lagi ya jalanan macet”
“Lama ya, oke deh cantik”
“Iya makasih ganteng”
Pergantian tahun selalu diwarnai dengan kemacetan di Yogyakarta. Tak apa asalkan hari ini cerah dan nanti malam tidak hujan. Aku masih menunggu Gia di stasiun. Ya, dia alasanku datang ke Yogyakarta untuk merayakan malam tahun baru.
“Gia, cepatlah datang karena aku sudah sangat lapar”Batinku.
Stasiun dan kereta, dua hal yang tak bisa dipisahkan. Stasiun dan kereta, dua hal yang selalu aku ingat. Dua hal itulah yang mempertemukan aku dan Fea. Aku teringat kembali malam itu saat aku mengantar Fea pergi ke Solo. Ya, aku ingat dia berangkat pukul delapan malam. Duduk di bangku panjang berdua denganku menanti datangnya kereta. Fea cantik natural dengan rambutnya yang selalu diikat ke belakang menyisakan dahi yang lebar. Kacamata cokelat tua selalu dia kenakan. Matanya bulat bersembunyi dibalik kacamata itu. Malam itu dia memakai jaket merah klub sepak bola. Celana jeans hitam panjang dan sepatu hitam yang selalu dia pakai saat kuliah. Fea tinggal di Purwokerto sama sepertiku. Kuliah di salah satu universitas di Solo. Aku terduduk di ruang tunggu stasiun melihatnya berjalan menuju kereta yang akan dia naiki. Cantik, aku bahagia bisa bersamamu Fea. Dia berbalik ke arahku dan melempar senyum serta lambaian hangat yang entah kurasakan sangat kurindukan. Ya, sangat kurindukan sampai sekarang. Mataku sesekali terpejam mengenang masa-masa itu.
Aku tersadar dari lamunan. Sebuah suara yang akrab sekali kudengar. Aku masih bisa mengenali suara itu. Suara yang telah lama tidak kudengar. Suara perempuan cantik itu terdengar jelas di telingaku. Namun lambat laun suara itu semakin mengecil menjauh. Kutolehkan kepalaku menuju sumber suara tadi. Sosok itu lama kukenal dan sangat akrab. Gadis itu berambut panjang dengan rambut diikat ke belakang menyisakan dahi yang lebar. Kacamata cokelat tua itu masih hinggap di wajahnya. Lamunanku menjadi kenyataan saat Fea berdiri di dekat bangku dua deret dari tempatku. Dia bersama seorang laki-laki entah siapa. Mungkin pacarnya yang baru atau entahlah aku tak ingin memikirkan hal itu. Dia bercakap-cakap dengan laki-laki itu terlihat sangat dekat sekali. Mereka akan pergi ke Solo setelah beberapa kata tertangkap di telingaku. Baru saja aku memikirkannya dan dia muncul entah darimana. Earphone putih menancap di telingaku. Aku mendengar lagu itu lagi. Lagu pertama kali kita bertemu.
***
Dua puluh menit telah berlalu terhitung sejak Gia menelponku. Kini aku dan Gia sudah berada di sebuah warung makan. Nasi gudeg menu favoritku jika berkunjung ke kota pelajar ini. Setelah mengalahkan rasa lapar, kami berencana untuk menonton film di salah satu bioskop ternama di Jogja. Tiket sudah kami pesan untuk menonton jam dua siang nanti. Aku dan Gia meluncur mengitari kota Jogja mengamati setiap sudutnya yang tak akan kudapat di Purwokerto. Gia adalah teman dekatku sejak duduk di bangki SMA. Apapun masalah kami pasti salah satunya akan mengetahui. Meskipun sekarang terpisah jarak. Gia kuliah di Jogja dan aku kuliah di Purwokerto namun persahabatan kami tak akan putus oleh jarak. Gia ini cewek yang supel dan ramah. Tingginya kurang lebih sebahuku dan suka sekali dengan warna merah. Mukanya imut dan manis dan selalu berambut pendek. Rambut sebahu kadang dipermanis dengan poni menutupi dahinya. Aku sering memanggilnya ‘cantik’ dan dia memanggilku ‘ganteng’. Hmm, mungkin itu salah satu alasan Fea memutuskan aku.
Gerimis mengiris langit tipis-tipis membuat aspal beriak dan kemacetan. Waktu menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh menit. Aku sudah duduk di atas motor Gia yang berwarna merah. Sementara Gia siap membonceng sambil membenarkan jaket merahnya. Kami bersiap menuju bioskop. Gerimis berubah menjadi hujan cukup lebat. Oh, pertanda apa ini? Akankah malam nanti akan hujan lagi seperti kemarin? Entahlah, rencana Tuhan selalu lebih baik daripada kita dan kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Kini tubuhku bersandar di kursi yang empuk dan nyaman. Sebuah film sedang memanjakanku membunuh waktu menuju sore. Ruangan ini kedap suara jadi aku tak mendengar deras hujan di luar sana. Aku menengok jam tangan di tangan.
“Sudahlah, masih lama buat tahun baru nanti” Batinku.
Jam di tangan menunjukkan pukul tiga sore masih tersisa satu jam lagi aku keluar dari studio bioskop ini. Kulihat Gia tenang-tenang saja menikmati film yang kami tonton. Kenapa aku malah gelisah? Padahal ini film yang sudah lama kunanti. Andai saja Fea ada di sebelahku, dia selalu menenangkan di saat aku gelisah. Sekarang, dimana dia? Sedang apa dia dengan laki-laki di stasiun itu? Ah, mengapa aku jadi memikirkan orang yang aku benci? Mungkin aku ini munafik benci tapi cinta. Entah rasa benci itu muncul kapan tapi setiap kali aku membencinya ada kenangan yang selalu memberikan kedamaian sehingga aku tak jadi membencinya dan berbalik rindu yang teramat. Kadang hatiku bergejolak dimana letak bahagia sesungguhnya. Dimana orang yang biasa selalu mendengar keluhku? Tetapi pikiranku sangatlah kerdil jika berkata seperti itu. Pikiran seperti itu adalah pikiran orang tak bersyukur. Aku masih gelisah bersama dengan hujan deras di luar sana.
***
Sore menjelang maghrib di Jogja tubuhku terdiam memandang langit. Aku kini berada di mall ternama di kota pelajar. Gia masih asyik dengan gadget di genggaman. Kelemahan Gia ini yang aku tak suka. Temanku ini anak orang kaya dan dari dulu sudah tak asing jika dia gonta-ganti gadget maupun pakaian yang disandangnya. Kelakuannya selalu membuatku ngiler dan minder. Tapi yang aku suka Gia tak pernah sombong kepada siapapun. Walaupun pakaiannya berharga jutaan tapi dia malah jarang memakainya. Walaupun gadget super canggih dan super mahal namun jarang dia keluarkan jika tak terlalu butuh. Malah handphone butut yang selalu nongol di saat-saat biasa.
Kriiiiiiiing” Handphone milik Gia itu berdering.
“Halo” Suara khas Gia terdengar cukup keras di tengah suasana mall yang ramai.
Gia terlihat ekspresif sekali dari raut mukanya. Sepertinya teman dekat yang menelpon. Aku melanjutkan menerawang angkasa yang masih menangis. Hari makin gelap meresahkan acara malam tahun baru nanti. Pikiranku sudah tak fokus dan terbayang jika malam nanti hujan tak kunjung reda seperti malam kemarin.
“Oke, sampai ketemu nanti ya” Gia mengakhiri telepon.
“Dari siapa?” Tanyaku penasaran.
“Tadi itu temenku yang lagi balik ke Solo”
“Oh, ada apa emangnya?”
“Gini, dia bilang ada acara musik dan aku suka banget sama band yang mau tampil di sana”
“Oh, terus?” Aku sudah merasakan ending yang tak enak.
Gia mengajakku pergi ke Solo menonton acara rekomendasi dari temannya. Kereta malam pukul 10.00 malam jika sesuai rencana. Gia sudah memesan tiket untuk tujuan Solo nanti malam. Tak terasa sudah pukul 08.00 malam. Masih tersisa dua jam lagi untuk berangkat. Bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Jogja adalah rencanaku sejak awal dan aku sudah siapkan semuanya untuk bertahun baru di kota ini. Mengapa aku harus ke Solo semendadak ini? Aku tak punya teman di Solo, semua temanku banyak yang di Jogja dan kebetulan tinggal Gia yang masih bertahan di Jogja. Kini cewek satu-satunya yang menemaniku di Jogja akan ke Solo. Haruskah aku ikut ke Solo? Entahlah aku masih bimbang lagipula nasi goreng di hadapanku saat ini lebih menyita perhatian. Kami berdua makan malam bersama hujan yang masih mengguyur.
***
Pukul 10.00 malam kami berdua duduk di dalam gerbong kereta. Aku hanya diam, temanku duduk di depanku juga diam. Jaket merahnya masih melekat di dalam gerbong ber-AC. Ya, hawa dingin setelah menembus deras hujan malam membuatku ikut melekatkan jaketku. Beberapa menit kemudian kereta mulai berjalan pelan meninggalkan Jogja. Malam ini ada sesuatu yang tak kuinginkan. Seseorang yang tak ingin kutemui. Solo adalah tempat Fea. Mendengar obrolannya dengan laki-laki di stasiun tadi siang mengingatkanku Solo bukanlah tempat yang tepat. Aku harus bagaimana lagi jika sudah begini? Apa yang akan terjadi? Gadis yang sudah berlalu itu haruskah bertemu kembali? Benar-benar aku tak menyangka jika aku bertemu dengannya malam ini. Di dalam gerbong Gia hanya asyik dengan earphone di telinga. Gia jadi pendiam sejak masuk kereta.
“Hey kenapa kamu jadi pendiam?” Tanyaku.
Gadis itu masih diam dengan pandangan keluar jendela.
“Masih marah?”
Dia tetap saja diam seperti tak menghiraukan aku.
“Kamu banyak berubah ya sekarang?”
Sungguh obrolan yang sangat canggung sekali antara aku dan gadis itu. Mengapa jadi seperti ini? Ah sudahlah lebih baik aku diamkan sementara. Novel di tanganku saat ini lebih menarik untuk dibaca untuk menemani perjalananku. Novel yang sudah lama kumilikki dan selalu kubaca untuk mengenang.
“Masih suka baca novel butut itu?”
“Jarang, cuma novel yang setia menemani saat-saat seperti ini”
“Oh...”
Mengapa? Hanya seperti itukah pertanyaanmu? Apa yang membuatmu berubah seperti ini sungguh aku merasa kesal dan kecewa.
“Kamu masih ingat pertama kita bertemu? Di dalam gerbong, novel dan sebuah lagu. Lagu itu masih sering kudengarkan” Ucapku.
Gadis itu hanya diam dan masih melemparkan pandangan keluar jendela. Entah apa yang dilihatnya malam gelap seperti ini. Hujan sepertinya sudah agak reda di luar sana. Ada yang berubah dari sorot matanya. Tiba-tiba saja mata bulat itu berlinang dan pelan-pelan luapan airnya tak terbendung lagi. Gadis di depanku ini menangis. Untuk apa dan siapa? Mengapa pula dia harus menangis. Kereta ini masih berjalan dan beberapa jam lagi akan sampai di Purwokerto. Kemana Gia? Satu jam yang lalu kami berdua naik kereta bebeda. Gia menuju Solo dan aku memutuskan untuk pulang ke Purwokerto. Ada hal yang tak kuinginkan terjadi, yakni bertemu dengan Fea. Beberapa saat setelah kereta berangkat aku dan Gia menyempatkan untuk ngobrol lewat telepon. Aku berharap aku tak bertemu dengan Fea namun nyatanya gadis itu duduk di depanku sekarang. Berhadapan, satu kereta, satu tujuan dan satu kebetulan yang meng’entah’kan.
Fea kini berlinang air mata entah mengapa. Aku coba bertanya namun percuma saja dia tak mau menjawab pertanyaanku. Setelah beberapa menit menikmati tangisannya pelan-pelan dia bicara kepadaku.
“Maafkan aku”
“Maaf? Untuk apa Fea?”
“Maaf dulu aku udah salah sangka ma kamu”
Fea mulai menumpahkan kisahnya. Dia menyesal telah memutuskanku tanpa mau mendengar penjelasanku lebih dulu. Dia tahu semuanya dari salah satu teman dekatku yang kebetulan adalah pacar Gia waktu itu. Fea tak bisa menghubungiku saat itu karena dia masih trauma denganku. Fea adalah tipe cewek moody yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari penyakit buruk sangkanya. Gia sengaja menemui Fea untuk menjelaskan semua. Sejak itulah Fea sadar dia salah menilaiku. Namun aku dan dia sudah terpisah jarak dan hilang komunikasi. Ah, mengapa baru sekarang kita dipertemukan.
“Mungkin salahku melewatkanmu
Tak mencarimu sepenuh hati
Maafkan aku...”
Fea mulai menyadari arti sebuah kepercayaan dalam menjalin hubungan. Meski waktu mengajarinya dengan sabar. Aku sebenarnya sudah memaafkannya dari dulu. Entah saja aku masih membencinya jika ingat saat dia memutuskanku.
“Virgo, kamu mau maafin aku kan?” Rengeknya di pelukanku.
“Sudahlah, aku tahu suatu saat kamu akan tahu. Aku maafin kamu kok Fea” Jawabku sembari mengusap air matanya.
“Jangan menangis lagi Fea, aku masih sayang kok sama kamu”
Fea masih larut dalam pelukanku. Malam ini aku kembali merayakan tahun baru di dalam kereta. tak terasa detik-detik menjelang pergantian tahun semakin dekat. Pukul 11.55 malam, lima menit menjelang pergantian tahun aku dan Fea menikmati saat-saat itu. Tanganku masih memegangi novel yang dulu menjadi saksi bisu pertemuanku dengan Fea. Lembar terakhir dalam novel itu mengutip sebuah lirik lagu. Ya, lagu yang mempertemukan kita dulu. Lagu yang selalu membuatku bangkit dari rasa gundah. Lagu yang selalu kudengar untuk mengenangmu. Dan akhirnya lagu itu pula yang menyatukan aku dan Fea kembali.
“Selamat tahun baru!!” Teriakan para penumpang lain diikuti bunyi-bunyi terompet yang diberikan oleh petugas kereta sewaktu perjalanan.
Ya, selamat tahun baru dan selamat mengawali langkah baru. Beberapa kembang api terlihat bermekaran beradu beraneka warna di langit. Benar-benar pemandangan yang indah dari balik jendela kereta. Perjalanan yang tak akan kulupakan. Aku kembali ke kotaku membawa kembali bunga hati. Ya, kami berdua resmi jadian untuk yang kedua kalinya. Dari kereta kita bermula, novel saksi bisu dan lagu yang masih menemani kami berdua sampai sekarang. (Oasis – Stop crying your heart out)

“We’re all of us stars...We’re fading away
Just try not to worry...You’ll see us someday
Just take what you need...And be on your way
And stop crying your heart out”
-Oasis-









Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 komentar:

Posting Komentar