Stop Crying Your Heart Out
Kabut
pagi sekitar pukul 06.00 tanganku gemetar menahan dingin udara yang kali ini
berbeda dari biasanya. Cuaca akhir-akhir ini memang tak jelas gerangan. Tubuhku
melaju 60 km/jam di atas motor matic
merah. Motor seorang teman yang sudah merelakan waktu tidurnya untuk
mengantarku ke stasiun pagi ini. Laju motor melambat memasuki pintu peron. Aku
sampai di stasiun tempat dahulu aku mengantarmu malam itu. Aku hanya memandang
dari ruang tunggu saat langkah kakimu pelan menjauhkan kita. Aku masih ingat
pukul berapa, dimana kita duduk menunggu kereta, sampai warna sepatu yang kau
pakai malam itu. Aku hanya tak ingat nama kereta malam yang kau naiki. Ah, kali
ini aku akan merasakan saat-saat itu lagi. Menunggu kereta, menyiapkan tiket,
mengucapkan salam perpisahan pada orang yang mengantar, membawa tas berat dan
ribet. Pukul 07.00 tepat terdengar deru kuda besi datang dari arah barat.
Keretaku masuk di jalur dua menggandeng delapan gerbong warna oranye. Gerbong 7
tertulis di tiket yang sedang kupegang. Kedua kakiku mengantarkan aku memasuki
gerbong yang cukup lebar. Gerbong ini tidak seperti yang kubayangkan. Pengap,
kotor, penuh sesak seperti itulah cerita teman-temanku yang pernah merasakan
kereta kelas ekonomi. Tetapi sekarang sudah berbeda. Keretaku ini kelas ekonomi
dan sudah ber-AC serta penumpang yang sesuai dengan kuota.
Dari
balik jendela gerbong kereta yang melaju 60 km/jam, aku meninggalkan kota
Purwokerto menuju Yogyakarta. Jam melingkar di pergelangan tangan menunjukkan
pukul 08.00 tepat. Mataku berat menyisakan rasa kantuk dari efek lembur
semalam. Yogyakarta, aku akan bertemu dengan seseorang untuk menikmati
sisa-sisa akhir tahun. Masih ada beberapa jam untuk sampai di kota gudeg. Aku
bisa terpejam sejenak mengistirahatkan mataku yang berat.
Tidurku
terusik isak tangis seorang gadis yang duduk di depanku. Entah kapan dia ada di
situ dan dari stasiun mana dia naik kereta ini. Sayu mataku terbuka pelan
mencari tahu siapa gerangan si gadis itu. Muka oval dengan kulit putih yang
natural. Rambut terikat ke belakang memperlihatkan dahinya yang lebar. Matanya
bulat bersembunyi di balik kacamata dan alis hitam sabit yang menawan. Cantik.
Mungkin akan lebih cantik saat dia tak menangis. Aku hanya mendiamkan saja
selama beberapa menit. Namun lama-lama jenuh pula suasana yang tak enak ini.
“Mbak
kenapa?” Tanyaku pelan.
“Oh,
gak papa kok” Jawab gadis itu menyeka air matanya.
“Bener
gak papa?” Tanyaku lagi meyakinkan.
Gadis
itu hanya mengangguk sambil mengangkat senyum meyakinkanku. Baiklah, mungkin
memang bukan urusanku tapi gadis ini tak berhenti menangis. Meski kali ini
tidak terdengar isaknya, namun air mata itu terus menetes.
“Mbak
yakin gak papa?” Tanyaku untuk yang kedua kalinya.
Dia
hanya mengangguk sembari menggenggam handphone
sedari tadi. Sepertinya telah terjadi sesuatu yang mengguncang hati gadis
cantik itu.
“Turun
di stasiun mana mbak?”
“Lempuyangan
Jogja mas”
“Oh
sama deh kalo gitu”
Gadis
itu hanya tersenyum sembari menyeka air matanya.
“Mas
dari mana?”
“Ah,
saya dari Purwokerto mbak”
“Oh,
sama siapa mas?”
“Sendiri,
mbak sama siapa ke Jogja?”
“Sendiri
juga”
Aneh,
gadis itu tiba-tiba jadi komunikatif denganku. Dia berusaha mengalihkan
pembicaraan agar aku tak menanyakan apa yang sedang terjadi padanya. Sejenak
kami terdiam menikmati pemandangan hijau yang damai. Gadis itu mengenakan
kemeja bergaris hitam putih. Sekarang dia sibuk mengambil sesuatu dari dalam
tas yang tergeletak di samping kiri. Sebuah novel dibukanya lembar demi lembar
sampai pada pembatas yang memisahkan halaman satu dengan halaman lain. Gadis
itu sedikit memamerkan sampul novel yang dibacanya. Ah, itu novel yang
kebetulan sedang aku cari. Aku memperhatikan terus si gadis cantik yang tampak
tak konsentrasi dengan novel yang dibacanya. Sontak aku ingin meminjam novel
itu.
“Hm,
suka baca novel ya mbak?”
“Ah,
gak juga kok. Aku pinjem dari temenku mas. Kebetulan ceritanya aku suka”
“Oh,
udah sampai mana bacanya? Kayaknya udah mau selesai ya?”
“Enggak,
aku bacanya nggak urut mas”
“Oh,
begitu”
“Mas
mau pinjem?”
Ah,
kebetulan macam apa baru saja aku ingin berkata untuk meminjam novel itu. Gadis
itu mendahuluiku menawari novelnya.
“Boleh”
Jawabku singkat.
Tak
lama novel itu berpindah ke tanganku. Benar-benar novel yang sudah lama
kucari-cari. Baru saja aku selesai satu bab, gadis di depanku itu kembali
meneteskan air mata. Ternyata aku salah waktu meminjam novel itu. Segera aku
kembalikan novel yang sebenarnya masih ingin kubaca agar gadis itu tak kehilangan
waktu berharganya hanya untuk menangis. Entah aku tak tahu apa yang dia
tangisi. Perlahan dia buka kembali halaman yang tadi sempat ditinggalkan.
“Wow
lirik ini maknanya dalam” Ucap gadis itu.
“Lirik
lagu apa?”
Gadis
itu menyodorkan tulisan di dalam novel. Sepenggal lirik yang sangat aku kenal.
Ya, lagu yang selalu kudengarkan di saat aku membutuhkan semangat untuk bangkit
kembali.
“Ah,
lirik ini... mbak mau dengar lagunya?” Tawarku.
“Mas
punya?”
Tanpa
perlu banyak kata, kuambil handphone
dan earphone yang kebetulan
kukantongi.
“Dengerin
aja mbak, aku juga suka banget lagu ini” Ucapku sambil memberikan salah satu earphone.
Kami
berdua larut dalam laju nada dan melodi sebuah lagu. Mataku terpejam jika
mendengar lagu ini begitu pula dengan gadis di depanku. Lagu mulai masuk pada
bagian akhir seiring dengan itu pula mataku terbuka perlahan. Ternyata aku
sudah sampai di tempat tujuan. Stasiun Lempuyangan Yogyakarta pukul 10.00 pagi.
Ah, cepat sekali dan tak terasa aku sudah sampai. Tapi aku merasa aneh, dimana
gadis yang duduk di depanku tadi? Dia menghilang lenyap dari alam bawah
sadarku. Hmm, lagi-lagi aku bermimpi tentang si gadis cantik. Tentang pertemuan
kita.
***
Fea,
sebuah nama yang belakangan ini kupikirkan. Mengapa? Entahlah, mungkin karena
beberapa jam lagi pergantian tahun. Ah, lalu kenapa harus dia yang terbesit di
kepalaku? Aku tak punya hak mengajaknya bertemu saat pergantian tahun nanti. Tentu
saja dia bukan siapa-siapaku lagi. Mungkin Fea yang cantik itu sudah bersanding
dengan laki-laki lain. Yang pasti aku membencimu tapi juga mencintaimu. Ya Tuhan
Engkau yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Berikan aku kekuatan untuk
menjalani cobaan hidup ini dan selalu berikan aku yang terbaik. Hidup, mati,
rejeki dan jodohku hanya Engkau yang maha mengetahui. Aku benar-benar tak akan
menyangka kejadian sore itu. Hanya kata-kata itu yang selalu ingin kulupakan
namun malah sebaliknya selalu terngingiang di kepala.
“Kita
putus!” Ucap Fea lantang.
“Putus?
Apa alasanmu memutuskan hubungan ini?”
“Sudah
jelas kan? Apa perlu sebut nama cewek simpananmu itu?”
“Astaga!
Siapa? Gia? Aku gak selingkuh Fea. Ya ampun aku dan Gia itu cuma teman. Kami
sedang diskusi untuk acara reuni SMA bulan depan”
“Masa
bodoh! Kamu kira aku gak tau? Udahlah aku malas membahasnya pokoknya kita
selesai sampai di sini!”
“Fea...!”
“Pergi!
Pergi kamu dari sini. Aku gak pengen liat kamu lagi” Fea mendorongku keluar
dari rumahnya
“Braaaaaaakk!”
Pintu rumah Fea tertutup rapat.
Di
saat itu pula hujan turun dengan derasnya. Entah suasana ini seperti
mendukungku untuk tetap berada di rumah Fea. Gadis yang setahun lalu bertemu
denganku di gerbong kereta itu memutuskanku. Setahun pula aku dan dia berpacaran. Sungguh mengapa wanita
itu tak pernah mau mendengar penjelasan logis dari laki-laki. Apakah perasaannya
yang telah membutakan jalan pikiran sehingga mereka tak bisa mencerna dengan
bijak. Lalu jika sudah begini, apa yang harus kulakukan. Meminta belas
kasihannya kah agar dia mau memaafkanku? Haruskah aku menangis di hadapannya
agar dia percaya kepadaku? Atau kuserahkan pada waktu? Sore itu langit masih
saja kelabu di akhir usianya. Hari itu adalah hari terakhir sebelum pergantian
tahun. Ya, setahun yang lalu malam tahun baruku benar-benar suram. Banyak teman
dan saudara yang mengajak menikmati pergantian tahun dan pesta kembang api. Aku
menolak ajakan mereka. Aku memilih pergi jauh entah kemana. Malam tahun baru
yang lalu aku duduk di bangku kereta menuju Surabaya. Tak peduli apa kata
orang-orang sekelilingku. Mereka bilang hanya aku yang terlihat murung saat waktu
mendekati masa-masa terakhirnya. Ya, mungkin hubungan kami ini mungkin ibarat
waktu pergantian tahun. Berpisah dengan tahun yang lama dan bertemu dengan
tahun yang baru. Jika Fea adalah tahun lamaku, lalu siapa orang di tahun
baruku?
***
“Ada yang hilang dari
perasaanku
Yang terlanjur sudah
kuberikan padamu
Ternyata aku tak
berarti tanpamu
Berharap kau tetap di
sini
Berharap dan berharap
lagi”
Aku
membencimu Fea. Mungkin kau juga membenciku. Tetapi aku masih mencintaimu.
Mungkinkah kau juga masih mencintaiku? Ada yang hilang dariku hingga hari ini.
Hari menjelang pergantian tahun tepat saat kau putuskan cintamu sore itu. Baru
saja Ipang berlalu dengan lagunya “Ada yang hilang” Lirik itu benar-benar mewakili
perasaanku saat ini. Ya sudahlah, aku di sini bukan untuk merenungimu. Jogja
adalah tawaran seorang temanku untuk merayakan pergantian tahun.
“Halo
Gia kamu dimana?” Tanyaku
“Aku
sedang dalam perjalanan”
“Masih
lama ya?”
“Tunggu
20 menit lagi ya jalanan macet”
“Lama
ya, oke deh cantik”
“Iya
makasih ganteng”
Pergantian
tahun selalu diwarnai dengan kemacetan di Yogyakarta. Tak apa asalkan hari ini
cerah dan nanti malam tidak hujan. Aku masih menunggu Gia di stasiun. Ya, dia
alasanku datang ke Yogyakarta untuk merayakan malam tahun baru.
“Gia, cepatlah datang
karena aku sudah sangat lapar”Batinku.
Stasiun
dan kereta, dua hal yang tak bisa dipisahkan. Stasiun dan kereta, dua hal yang
selalu aku ingat. Dua hal itulah yang mempertemukan aku dan Fea. Aku teringat
kembali malam itu saat aku mengantar Fea pergi ke Solo. Ya, aku ingat dia
berangkat pukul delapan malam. Duduk di bangku panjang berdua denganku menanti
datangnya kereta. Fea cantik natural dengan rambutnya yang selalu diikat ke
belakang menyisakan dahi yang lebar. Kacamata cokelat tua selalu dia kenakan.
Matanya bulat bersembunyi dibalik kacamata itu. Malam itu dia memakai jaket
merah klub sepak bola. Celana jeans
hitam panjang dan sepatu hitam yang selalu dia pakai saat kuliah. Fea tinggal
di Purwokerto sama sepertiku. Kuliah di salah satu universitas di Solo. Aku
terduduk di ruang tunggu stasiun melihatnya berjalan menuju kereta yang akan
dia naiki. Cantik, aku bahagia bisa bersamamu Fea. Dia berbalik ke arahku dan
melempar senyum serta lambaian hangat yang entah kurasakan sangat kurindukan. Ya,
sangat kurindukan sampai sekarang. Mataku sesekali terpejam mengenang masa-masa
itu.
Aku
tersadar dari lamunan. Sebuah suara yang akrab sekali kudengar. Aku masih bisa
mengenali suara itu. Suara yang telah lama tidak kudengar. Suara perempuan cantik
itu terdengar jelas di telingaku. Namun lambat laun suara itu semakin mengecil
menjauh. Kutolehkan kepalaku menuju sumber suara tadi. Sosok itu lama kukenal
dan sangat akrab. Gadis itu berambut panjang dengan rambut diikat ke belakang
menyisakan dahi yang lebar. Kacamata cokelat tua itu masih hinggap di wajahnya.
Lamunanku menjadi kenyataan saat Fea berdiri di dekat bangku dua deret dari
tempatku. Dia bersama seorang laki-laki entah siapa. Mungkin pacarnya yang baru
atau entahlah aku tak ingin memikirkan hal itu. Dia bercakap-cakap dengan
laki-laki itu terlihat sangat dekat sekali. Mereka akan pergi ke Solo setelah
beberapa kata tertangkap di telingaku. Baru saja aku memikirkannya dan dia
muncul entah darimana. Earphone putih
menancap di telingaku. Aku mendengar lagu itu lagi. Lagu pertama kali kita
bertemu.
***
Dua
puluh menit telah berlalu terhitung sejak Gia menelponku. Kini aku dan Gia
sudah berada di sebuah warung makan. Nasi gudeg menu favoritku jika berkunjung
ke kota pelajar ini. Setelah mengalahkan rasa lapar, kami berencana untuk
menonton film di salah satu bioskop ternama di Jogja. Tiket sudah kami pesan
untuk menonton jam dua siang nanti. Aku dan Gia meluncur mengitari kota Jogja
mengamati setiap sudutnya yang tak akan kudapat di Purwokerto. Gia adalah teman
dekatku sejak duduk di bangki SMA. Apapun masalah kami pasti salah satunya akan
mengetahui. Meskipun sekarang terpisah jarak. Gia kuliah di Jogja dan aku
kuliah di Purwokerto namun persahabatan kami tak akan putus oleh jarak. Gia ini
cewek yang supel dan ramah. Tingginya kurang lebih sebahuku dan suka sekali
dengan warna merah. Mukanya imut dan manis dan selalu berambut pendek. Rambut sebahu
kadang dipermanis dengan poni menutupi dahinya. Aku sering memanggilnya ‘cantik’
dan dia memanggilku ‘ganteng’. Hmm, mungkin itu salah satu alasan Fea
memutuskan aku.
Gerimis
mengiris langit tipis-tipis membuat aspal beriak dan kemacetan. Waktu menunjukkan
pukul satu lewat tiga puluh menit. Aku sudah duduk di atas motor Gia yang
berwarna merah. Sementara Gia siap membonceng sambil membenarkan jaket
merahnya. Kami bersiap menuju bioskop. Gerimis berubah menjadi hujan cukup
lebat. Oh, pertanda apa ini? Akankah malam nanti akan hujan lagi seperti
kemarin? Entahlah, rencana Tuhan selalu lebih baik daripada kita dan kita tak
pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Kini tubuhku bersandar di kursi yang
empuk dan nyaman. Sebuah film sedang memanjakanku membunuh waktu menuju sore. Ruangan
ini kedap suara jadi aku tak mendengar deras hujan di luar sana. Aku menengok
jam tangan di tangan.
“Sudahlah, masih lama
buat tahun baru nanti” Batinku.
Jam
di tangan menunjukkan pukul tiga sore masih tersisa satu jam lagi aku keluar dari
studio bioskop ini. Kulihat Gia tenang-tenang saja menikmati film yang kami
tonton. Kenapa aku malah gelisah? Padahal ini film yang sudah lama kunanti. Andai
saja Fea ada di sebelahku, dia selalu menenangkan di saat aku gelisah. Sekarang,
dimana dia? Sedang apa dia dengan laki-laki di stasiun itu? Ah, mengapa aku
jadi memikirkan orang yang aku benci? Mungkin aku ini munafik benci tapi cinta.
Entah rasa benci itu muncul kapan tapi setiap kali aku membencinya ada kenangan
yang selalu memberikan kedamaian sehingga aku tak jadi membencinya dan berbalik
rindu yang teramat. Kadang hatiku bergejolak dimana letak bahagia sesungguhnya.
Dimana orang yang biasa selalu mendengar keluhku? Tetapi pikiranku sangatlah
kerdil jika berkata seperti itu. Pikiran seperti itu adalah pikiran orang tak
bersyukur. Aku masih gelisah bersama dengan hujan deras di luar sana.
***
Sore
menjelang maghrib di Jogja tubuhku terdiam memandang langit. Aku kini berada di
mall ternama di kota pelajar. Gia masih asyik dengan gadget di genggaman. Kelemahan Gia ini yang aku tak suka. Temanku ini
anak orang kaya dan dari dulu sudah tak asing jika dia gonta-ganti gadget maupun pakaian yang disandangnya.
Kelakuannya selalu membuatku ngiler
dan minder. Tapi yang aku suka Gia tak pernah sombong kepada siapapun. Walaupun
pakaiannya berharga jutaan tapi dia malah jarang memakainya. Walaupun gadget super canggih dan super mahal
namun jarang dia keluarkan jika tak terlalu butuh. Malah handphone butut yang selalu nongol di saat-saat biasa.
“Kriiiiiiiing” Handphone milik Gia itu
berdering.
“Halo”
Suara khas Gia terdengar cukup keras di tengah suasana mall yang ramai.
Gia
terlihat ekspresif sekali dari raut
mukanya. Sepertinya teman dekat yang menelpon. Aku melanjutkan menerawang
angkasa yang masih menangis. Hari makin gelap meresahkan acara malam tahun baru
nanti. Pikiranku sudah tak fokus dan terbayang jika malam nanti hujan tak
kunjung reda seperti malam kemarin.
“Oke,
sampai ketemu nanti ya” Gia mengakhiri telepon.
“Dari
siapa?” Tanyaku penasaran.
“Tadi
itu temenku yang lagi balik ke Solo”
“Oh,
ada apa emangnya?”
“Gini,
dia bilang ada acara musik dan aku suka banget sama band yang mau tampil di
sana”
“Oh,
terus?” Aku sudah merasakan ending yang tak enak.
Gia
mengajakku pergi ke Solo menonton acara rekomendasi dari temannya. Kereta malam
pukul 10.00 malam jika sesuai rencana. Gia sudah memesan tiket untuk tujuan
Solo nanti malam. Tak terasa sudah pukul 08.00 malam. Masih tersisa dua jam
lagi untuk berangkat. Bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Jogja adalah
rencanaku sejak awal dan aku sudah siapkan semuanya untuk bertahun baru di kota
ini. Mengapa aku harus ke Solo semendadak ini? Aku tak punya teman di Solo,
semua temanku banyak yang di Jogja dan kebetulan tinggal Gia yang masih
bertahan di Jogja. Kini cewek satu-satunya yang menemaniku di Jogja akan ke
Solo. Haruskah aku ikut ke Solo? Entahlah aku masih bimbang lagipula nasi
goreng di hadapanku saat ini lebih menyita perhatian. Kami berdua makan malam
bersama hujan yang masih mengguyur.
***
Pukul
10.00 malam kami berdua duduk di dalam gerbong kereta. Aku hanya diam, temanku
duduk di depanku juga diam. Jaket merahnya masih melekat di dalam gerbong
ber-AC. Ya, hawa dingin setelah menembus deras hujan malam membuatku ikut
melekatkan jaketku. Beberapa menit kemudian kereta mulai berjalan pelan
meninggalkan Jogja. Malam ini ada sesuatu yang tak kuinginkan. Seseorang yang
tak ingin kutemui. Solo adalah tempat Fea. Mendengar obrolannya dengan
laki-laki di stasiun tadi siang mengingatkanku Solo bukanlah tempat yang tepat.
Aku harus bagaimana lagi jika sudah begini? Apa yang akan terjadi? Gadis yang
sudah berlalu itu haruskah bertemu kembali? Benar-benar aku tak menyangka jika
aku bertemu dengannya malam ini. Di dalam gerbong Gia hanya asyik dengan earphone di telinga. Gia jadi pendiam
sejak masuk kereta.
“Hey
kenapa kamu jadi pendiam?” Tanyaku.
Gadis
itu masih diam dengan pandangan keluar jendela.
“Masih
marah?”
Dia
tetap saja diam seperti tak menghiraukan aku.
“Kamu
banyak berubah ya sekarang?”
Sungguh
obrolan yang sangat canggung sekali antara aku dan gadis itu. Mengapa jadi
seperti ini? Ah sudahlah lebih baik aku diamkan sementara. Novel di tanganku
saat ini lebih menarik untuk dibaca untuk menemani perjalananku. Novel yang
sudah lama kumilikki dan selalu kubaca untuk mengenang.
“Masih
suka baca novel butut itu?”
“Jarang,
cuma novel yang setia menemani saat-saat seperti ini”
“Oh...”
Mengapa?
Hanya seperti itukah pertanyaanmu? Apa yang membuatmu berubah seperti ini
sungguh aku merasa kesal dan kecewa.
“Kamu
masih ingat pertama kita bertemu? Di dalam gerbong, novel dan sebuah lagu. Lagu
itu masih sering kudengarkan” Ucapku.
Gadis
itu hanya diam dan masih melemparkan pandangan keluar jendela. Entah apa yang
dilihatnya malam gelap seperti ini. Hujan sepertinya sudah agak reda di luar
sana. Ada yang berubah dari sorot matanya. Tiba-tiba saja mata bulat itu
berlinang dan pelan-pelan luapan airnya tak terbendung lagi. Gadis di depanku
ini menangis. Untuk apa dan siapa? Mengapa pula dia harus menangis. Kereta ini
masih berjalan dan beberapa jam lagi akan sampai di Purwokerto. Kemana Gia?
Satu jam yang lalu kami berdua naik kereta bebeda. Gia menuju Solo dan aku
memutuskan untuk pulang ke Purwokerto. Ada hal yang tak kuinginkan terjadi,
yakni bertemu dengan Fea. Beberapa saat setelah kereta berangkat aku dan Gia
menyempatkan untuk ngobrol lewat telepon. Aku berharap aku tak bertemu dengan
Fea namun nyatanya gadis itu duduk di depanku sekarang. Berhadapan, satu
kereta, satu tujuan dan satu kebetulan yang meng’entah’kan.
Fea
kini berlinang air mata entah mengapa. Aku coba bertanya namun percuma saja dia
tak mau menjawab pertanyaanku. Setelah beberapa menit menikmati tangisannya
pelan-pelan dia bicara kepadaku.
“Maafkan
aku”
“Maaf?
Untuk apa Fea?”
“Maaf
dulu aku udah salah sangka ma kamu”
Fea
mulai menumpahkan kisahnya. Dia menyesal telah memutuskanku tanpa mau mendengar
penjelasanku lebih dulu. Dia tahu semuanya dari salah satu teman dekatku yang
kebetulan adalah pacar Gia waktu itu. Fea tak bisa menghubungiku saat itu
karena dia masih trauma denganku. Fea adalah tipe cewek moody yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari penyakit buruk
sangkanya. Gia sengaja menemui Fea untuk menjelaskan semua. Sejak itulah Fea
sadar dia salah menilaiku. Namun aku dan dia sudah terpisah jarak dan hilang
komunikasi. Ah, mengapa baru sekarang kita dipertemukan.
“Mungkin salahku
melewatkanmu
Tak mencarimu sepenuh
hati
Maafkan aku...”
Fea
mulai menyadari arti sebuah kepercayaan dalam menjalin hubungan. Meski waktu
mengajarinya dengan sabar. Aku sebenarnya sudah memaafkannya dari dulu. Entah saja
aku masih membencinya jika ingat saat dia memutuskanku.
“Virgo,
kamu mau maafin aku kan?” Rengeknya di pelukanku.
“Sudahlah,
aku tahu suatu saat kamu akan tahu. Aku maafin kamu kok Fea” Jawabku sembari
mengusap air matanya.
“Jangan
menangis lagi Fea, aku masih sayang kok sama kamu”
Fea
masih larut dalam pelukanku. Malam ini aku kembali merayakan tahun baru di
dalam kereta. tak terasa detik-detik menjelang pergantian tahun semakin dekat. Pukul
11.55 malam, lima menit menjelang pergantian tahun aku dan Fea menikmati
saat-saat itu. Tanganku masih memegangi novel yang dulu menjadi saksi bisu
pertemuanku dengan Fea. Lembar terakhir dalam novel itu mengutip sebuah lirik
lagu. Ya, lagu yang mempertemukan kita dulu. Lagu yang selalu membuatku bangkit
dari rasa gundah. Lagu yang selalu kudengar untuk mengenangmu. Dan akhirnya
lagu itu pula yang menyatukan aku dan Fea kembali.
“Selamat
tahun baru!!” Teriakan para penumpang lain diikuti bunyi-bunyi terompet yang
diberikan oleh petugas kereta sewaktu perjalanan.
Ya,
selamat tahun baru dan selamat mengawali langkah baru. Beberapa kembang api
terlihat bermekaran beradu beraneka warna di langit. Benar-benar pemandangan
yang indah dari balik jendela kereta. Perjalanan yang tak akan kulupakan. Aku
kembali ke kotaku membawa kembali bunga hati. Ya, kami berdua resmi jadian
untuk yang kedua kalinya. Dari kereta kita bermula, novel saksi bisu dan lagu
yang masih menemani kami berdua sampai sekarang. (Oasis – Stop crying your
heart out)
“We’re all of us
stars...We’re fading away
Just try not to
worry...You’ll see us someday
Just take what
you need...And be on your way
And stop crying
your heart out”
-Oasis-
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar