“Satu, dua, tiga.” Aku
menghitung dalam hati.
Satu
tanganku mengayun pelan ban karet hitam yang menggantung di dahan pohon mangga.
Tali tambangnya berkerut sekeriput pipiku di usia senja. Aku tidak tahu mengapa
ayunan ini masih ada sampai sekarang. Pohon mangga ini juga masih saja berdiri
sendiri. Tidak berteman dengan tetumbuhan lain. Sendiri, sama sepertiku
sekarang.
Upik,
adik perempuanku satu-satunya yang kusayang. Selalu ada saja kenangan yang
mampir di kepalaku tentangnya. Bahkan sampai sekarang, Upik masih saja datang
dan berlalu di ingatan.
Aku
menerawang bertahun-tahun silam hidup bersama satu keluarga besar di desa.
Rumah saudara satu dengan yang lain tidak berjauhan. Maka kami tidak akan
merasa lelah kalaupun berkunjung ke rumah satu dengan rumah yang lain dalam
satu hari.
Lalu
tentang tempat sekarang aku berdiri yakni di antara rumahku dan rumah kakek
adalah tempat favorit untuk bermain. Ya, aku ingat ketika kakek membawa ban
bekas dari bengkel Paman Sobri yang baru saja gulung tikar. Kakek mengikat ban
itu dengan tali tambang lalu ujung tali yang lain diikatkan di salah satu dahan
pohon mangga.