Hilang
“Satu, dua, tiga.” Aku
menghitung dalam hati.
Satu
tanganku mengayun pelan ban karet hitam yang menggantung di dahan pohon mangga.
Tali tambangnya berkerut sekeriput pipiku di usia senja. Aku tidak tahu mengapa
ayunan ini masih ada sampai sekarang. Pohon mangga ini juga masih saja berdiri
sendiri. Tidak berteman dengan tetumbuhan lain. Sendiri, sama sepertiku
sekarang.
Upik,
adik perempuanku satu-satunya yang kusayang. Selalu ada saja kenangan yang
mampir di kepalaku tentangnya. Bahkan sampai sekarang, Upik masih saja datang
dan berlalu di ingatan.
Aku
menerawang bertahun-tahun silam hidup bersama satu keluarga besar di desa.
Rumah saudara satu dengan yang lain tidak berjauhan. Maka kami tidak akan
merasa lelah kalaupun berkunjung ke rumah satu dengan rumah yang lain dalam
satu hari.
Lalu
tentang tempat sekarang aku berdiri yakni di antara rumahku dan rumah kakek
adalah tempat favorit untuk bermain. Ya, aku ingat ketika kakek membawa ban
bekas dari bengkel Paman Sobri yang baru saja gulung tikar. Kakek mengikat ban
itu dengan tali tambang lalu ujung tali yang lain diikatkan di salah satu dahan
pohon mangga.
“Upik,
Udin, Wawan! Sini, ayo main!” ajakku kepada adik dan saudara-saudaraku yang
tengah asyik bercanda di teras rumah kakek.
“Jangan
main sekarang, Man. Besok saja. Tidak baik bermain menjelang malam,” larang
kakek.
Aku
mengangguk lantas meninggalkan kakek yang masih menarik-narik tali tambang
memastikan ikatan yang mencengkeram dahan pohon mangga. Hatiku berkecamuk
antara ingin sekali menjajal ayunan itu, namun larangan kakek harus membuatku
bersabar. Dari kejauhan kulihat kakek masih memegangi ayunan itu sembari
meracau entah doa apa yang sedang dirapalnya. Aku sudah biasa melihat tingkah
kakek yang katanya kejawen itu.
Esok
harinya warga terlihat mondar-mandir berkeliling desa.
“Ada
apa gerangan seluruh warga ini seperti mencari sesuatu,” gumamku heran.
“Pak,
sudah tahu belum Si Wawan hilang,” ucap ibuku sepulang dari pasar subuh tadi.
“Hilang?!” batinku
tersentak.
Sehari
berselang, warga kembali dikejutkan berita Udin yang tidak lain anak Paman
Sobri senasib dengan Wawan. Entahlah satu per satu saudaraku lenyap tak tahu
rimbanya.
“Pik,
kamu tidak tahu ke mana Si Udin?” tanyaku berbisik.
Upik,
adik perempuanku itu menggeleng.
“Yakin?
Aku lihat kemarin kamu bermain di dekat pohon mangga dengan Udin ‘kan?” tanyaku
semakin mendesaknya.
“Udin
hilang, Kak,” rengek Upik.
Entahlah
orang-orang mulai menganggapku gila setelah mencoba menjelaskan apa yang
terjadi terhadap Udin. Mereka tambah tidak percaya mendengar penjelasanku
tentang kejadian selanjutnya. Sampai sekarang pun aku masih tidak percaya Upik
adalah korban kejadian selanjutnya. Hilang.
Tubuhku
gemetar. Tangan rapuhku memegang tali tambang yang kini berkerut itu. Kenangan
tentang Upik itu selalu membuat bulu kuduk merinding. Di usia senjaku ini aku
harus melawan rasa takut itu. Rasa takut untuk mencoba duduk dan mengayunkan
tubuhku sama seperti saudara-saudaraku kala itu.
Aku
bersiap menghitung setiap ayunan. Ujung kakiku mendorong tubuhku terayun ke belakang.
“Satu....” Hitungan
pertama mengayun tubuh rentaku pelan.
“Dua....” Hitungan
kedua teringat kembali perkataan Upik tentang apa yang terjadi pada Udin dan
Wawan.
“Tiga....” Hitungan
ketiga tubuhku terasa ringan. Bayangan Upik, Udin dan Wawan semakin nyata.
Mereka hilang dihitungan ketiga.
***
486 kata.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
eh buset kok dia cobain juga ayunannya? serem
BalasHapusPengen ketemu adiknya sih, :D Makasih sudah mampir :)
Hapusjadi ilang semuanya... tanpa ada sebab?
BalasHapusSori baru bales, Mak Isti. Itu mantra dari sang kakek saat meracau di sore hari. *pesimis menang lomba TT
BalasHapus