Lelaki Ketiga
Malam
itu keheningan kota menyergap sepasang muda-mudi ketika sebuah pertanyaan
terlempar. Di sebuah kafe berlatar ala warung kopi. Pada pukul tujuh lewat lima
perempuan itu bertanya memecah canda, “Apa kau mencintaiku, Ragil?”
Hening
sejenak seakan semesta membungkam keadaan. Seakan alam meredupkan pelita
menjadi temaram.
“Kalau aku tak cinta, untuk apa perasaan ini kupelihara?
Jika aku tak memendam asmara, untuk apa kugali-gali bayangmu. Aku hanyalah
lelaki muda yang tengah dirundung getar-getar merona yang kian waktu kian
membengkak, menjalar memenuhi rongga-rongga nadi. Sehingga dalam napasku, kau
terhempas menderu-deru. Dalam detak jantungku ada namamu yang berdegup meletup.”
Ragil menyahut. Menyesap kopi yang sudah dua kali tandas malam itu.
Perempuan
di depannya hanya tersenyum membiarkan angin malam melintas di antara mereka.
“Aku
menunggu jawabanmu. Mungkin saja malam ini kau akan memberikannya,” pancing
Ragil.
Dengan
anggun perempuan itu berbisik kepadanya, “Biar kuceritakan akhir dari kisah ini
kepadamu.”
Ragil
terhenyak. Pernyataan yang tak pernah terpikirkan olehnya keluar dari mulut perempuan
yang dicintainya. Malam menjadi semakin remang.
“Kau
boleh memakiku nanti ataupun besok. Aku memang seperti ini. Kau tak akan sanggup
mematahkan argumentasi, idealisme, dan segala yang ada pada diriku. Kau lelaki
yang cukup muda bagiku. Bahkan usia kita tidak seperti angka satu dan dua. Aku
tidak akan terpengaruh pada omongan orang di luar sana. Kuharap kau pun sama.
Jika kau tak sanggup, aku tak akan menyalahkan siapa pun,” ungkap perempuan
dengan bingkai kaca di matanya.
“Kau
lelaki ketiga yang mungkin seperti Raka dan Rayi,” Ragil terkejut. Nama-nama
yang begitu dia kenal.
“Ada
apa dengan mereka?” Ragil terheran-heran.
“Mereka
mencintaiku sama sepertimu. Mereka sanggup bertahan meski tak kunjung ada
jawaban.”
“Demi
Tuhan, apa yang kaulakukan dengan mereka?”
Perempuan
itu bergeming. Menyeringai.
“Katakan,
Nerry!” lelaki muda itu mendesak.
“Aku
memilih untuk tidak tahu,” sahut Nerry. “Tapi yang perlu kau ketahui bahwa
cintaku kepada mereka, sama seperti kepadamu. Tubuhku, sudah kaumiliki. Mereka
pun menikmati hal yang sama. Bibirku sudah kering beradu kecup denganmu,
begitupun dengan mereka. Apakah itu namanya cinta?”
“Bangsat!”
“Mereka
memang bangsat, Ragil,” ucap Nerry menegaskan. “Tapi kau lebih bangsat karena
memaki kakak-kakakmu.”
“Di
mana mereka sekarang, Nerry?”
“Sudahlah,”
elak Nerry.
“Di
mana!” Ragil naik pitam.
“Untuk
apa kautahu? Kauingin menyelamatkan mereka? Memberitahu bahwa kau kekasihku?”
Ragil
diam.
“Sungguh
bodoh. Bahkan aku tak menganggapmu sebagai kakasih. Atau mungkin belum. Suatu
saat nanti mungkin kau akan jadi kekasihku,” Nerry melempar pandangannya.
“Apa
maumu perempuan gila!” bentak Ragil.
“Kau
membuat pelanggan lain resah. Kakak-kakakmu ada di suatu tempat. Kupastikan
mereka masih bertahan menunggu jawabanku,” ungkap Nerry sambil lalu.
“Sialan!”
umpat Ragil tak tenang.
“Jadi
kau sudah tahu akhir cerita kita, kan?”
Ragil
mendengus kesal. Dia hanya ingin mengetahui di mana Raka dan Rayi sekarang.
“Pergilah
ke Sedosukma dan Bangsal Kepatihan,” terang Nerry menyebut nama-nama tempat
yang tak asing di telinga Ragil.
Di
Sedosukmo, Raka menggigil bersama cacing dan tanah menunggu jawaban. Bangsal
Kepatihan memudarkan kenangan Rayi satu per satu bersama Nerry. Dokter jiwa
selalu sabar menanganinya.
***
Surakarta,
Minggu, 14 Juni 2015 (21.55)
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar