JANJI MALA
Sudah pukul lima sore.
Kuembuskan napas kesalku.
“Si
Mala sudah lewat ya, Mbok?” tanyaku sambil melumat pisang goreng yang dijual
Mbok Yati. Janda empat puluh tahunan itu paling hafal kapan Mala lewat di depan
warungnya.
“Ndak tahu, Le. Biasanya jam segini dia mampir beli gorengan,” terang Mbok Yati
sembari sibuk meladeni pembeli.
Aku
kembali menghabiskan sisa pisang goreng di genggaman. Barangkali gadis itu lewat
sebentar lagi.
Mala, di mana kamu? Aku mau pamer
sesuatu.
Pisang
goreng di genggaman sudah kulumat habis. Jam kecil di warung Mbok Yati
menunjukkan pukul enam sore. Sayup-sayup azan magrib berkumandang tanda aku
harus kembali pulang. Gadis itu tak kunjung tiba. Dalam hati kuracau dia
berkali-kali. Tentang janji-janji yang diumbarnya tempo hari.
Kejar aku dulu baru kamu bisa
bonceng sepedaku. Terngiang ejekannya kemarin
sore.
“Dasar
Si Mala,” Aku tak tahu lagi harus meracau apa.
Kakiku
semangat mengayuh sepeda selepas salat magrib berjamaah di masjid desa. Ya, aku
ingin pamer sepeda baruku. Meski tak seperti sepeda tua antik milik Mala yang
notabene pemberian Paklik-nya. Ah, masa
bodoh. Setelah dia tahu sepeda baruku, dia tidak akan mengejekku lagi.
Aku
sampai di depan rumah Mala. Dengan napas yang masih tersengal kusandarkan
sepeda di pinggir pagar rumahnya. Sepi yang kudapati. Tidak ada tanda-tanda
Mala ada di dalam rumahnya.
Aku
merangsek masuk. Mendekat menuju pintu depan rumahnya. Baru beberapa langkah
kakiku serasa berat. Mataku membelalak seakan tak percaya mendapati tulisan
yang tertempel di pintu rumahnya. Gontai langkahku pun terhenti saat itu. Aku
melengok sepeda baruku yang tersandar di pagar. Lalu teringat lagi
janji-janjinya.
“Kalau kamu mau mengajakku main,
ajaklah aku mengitari desa,”
“Ah, gampang….” Sahutku tertahan.
“Pakai sepedamu,” imbuhnya.
“Pakai sepedaku?” ulangku tak
terima.
“Kenapa ndak pakai sepedamu?”
“Sepedaku sudah tua, kamu tega
menaiki sepeda reyot itu buat boncengan?”
“Hm, tapi….” Keluhku terputus.
“Menabunglah dari sekarang, ha
ha.”Dia meledekku lagi, seakan aku ini bocah paling boros sedunia.
“Kalau sepedaku baru, kamu mau
main sepeda bareng?” tanyaku sangsi.
“Janji,” Dia menganggukan kepala.
***
Kukayuh
sepeda menyusuri jalanan desa pagi hari. Melewati warung Mbok Yati yang sudah
dikerubuti bapak-bapak pecinta kopi. Segera akan kudapati Rumah Mala lagi. Masih
tak percaya kulihat tulisan di pintu depan rumah itu. Masih sama seperti
kemarin malam.
“Dijual,”
lirih aku membaca tulisan di pintu rumahnya.
Mala,
di mana kamu? Lihatlah sepedaku yang baru. Apa kamu tidak suka? Lantas kamu
pergi begitu saja. Kuharap kita bisa bersepeda mengitari jalan desa seperti
katamu kemarin. Lalu aku bisa melihatmu tersenyum lagi. Saat itulah kamu merona
bak lazuardi. Membuatku geming dan jatuh hati.
Aku
bergumam membiarkan asaku menguap pagi itu. Bersama laju sepeda yang masih
baru, “Aku rindu ejekanmu, Mala.”
“Juga
senyumanmu….”
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Kini Mala menumpang untuk tinggal di rumahku..membantu menyiapkan segala kebutuhan sehari-hari sebelum aku berangkat kerja, dan seperti biasa ketika pamit akan berangkat kerja, aku mengatakan sesuatu padanya..
BalasHapus"Hei Mala, apa kau tidak ada rencana melihat-lihat desa asal dan rumah lamamu yang kau jual itu?"
"Tidak mas, biarlah itu menjadi masa laluku...aku akan tinggal di sini untuk sementara waktu..sampai memiliki rumah baru.."
"Oh baiklah kalau begitu...aku berangkat ya!"
"Iya mas hati-hati di jalan..."
Begitulah kehidupan Mala sekarang, dia fokus hidup di rumah kontrakan ini untuk sementara waktu, sampai kami bisa mencicil rumah baru. Maklumlah kalau masih mengontrak rumah, karena baru 2 minggu terakhir kami menikah.