Mereka Saling Berteriak
Entahlah,
sudah berapa kali aku melihat Nadia meremas-remas tangan, menutup mata dan
telinga. Tubuhnya gugup gemetaran setiap pertengkaran itu di mulai. Sungguh
kebiasaan yang membuatku trenyuh.
Nadia
adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMP itu mengeluh kepadaku. Melempar
pertanyaan yang aku pun tak tahu jawabannya. Hanya orang tua kami yang tahu—yang
kami tahu mereka selalu bertengkar akhir-akhir ini.
Di
dalam kamarku kami menguping atau lebih tepatnya tak sengaja mendengar—karena kami
mulai terbiasa dengan pertengkaran orang tua.
Aku
bersama Nadia. Sementara ayah dan ibu berada tak jauh dari kami. Tetapi kami
tak melihat keduanya. Kami hanya mendengar suara-suara mereka saling berteriak.
Lalu suara itu menghilang. Tak terdengar lagi.
“Kak,
Ayah dan Ibu itu kenapa sih? Apa yang sebenarnya mereka ributkan?” Nadia polos
bertanya.
“Gak
tahu!” sahutku pendek tak acuh, “Gak usah deketin Ayah dan Ibu dulu, Nad!”
Demi
mendengar jawaban ketusku, Nadia beranjak mencari tahu mengendus ke mana ayah
dan ibu pergi.
“Pyaaaar!”
“Hm,
sepertinya pertengkaran beralih di ruang makan. Pecahkan saja gelasnya!”
gumamku sebal, “Huh, dasar Nadia. Sudah kubilang jangan pernah mendekati Ayah
dan Ibu yang sedang bertengkar.”
Entahlah,
apa yang telah terjadi. Kudapati pecahan gelas dan piring berserakan di ruang
makan. Sehebat itukah pertengkaran ayah dan ibu? Mataku menangkap Nadia bergeming
di sudut pintu belakang meremas-remas tangan, gugup gemetaran menutup mata dan
telinga. Pemandangan trenyuh entah kesekian kalinya.
Aku
mendekat, mengendap, lalu mengintip. Di teras belakang rumah, tiga orang
berdiri saling menatap tajam. Mulut mereka mengoceh dengan keras.
Satu
perempuan dengan rambut sebahu, sorot matanya teduh, wajahnya tenang meski
dalam perdebatan. Dia ibuku, aku mengenalnya. Satu Laki-laki dengan rambut
cepak, rahang tegas, matanya galak meski tidak melotot, dan tubuhnya tinggi
tegap. Dia ayahku, aku mengenalnya. Yang terakhir perempuan dengan wajah culas,
kulitnya putih, matanya agak sipit atau sengaja memicingkan mata, tak terlalu
jelas bagiku karena dia berada agak jauh. Aku tidak tahu siapa dia.
Aku
bersama Nadia merasa cukup dekat, Kami memilih bergeming. Bedanya, aku hanya
menutup mata saja. Kupingku kubiarkan menangkap cacian mereka. Ini menarik
karena ada satu orang lagi yang ikut dalam konflik.
Sudah
hampir lima belas menit aku menguping. Belum kutemukan titik ke mana arah
perdebatan. Hanya kata “Menikah”, “Maria”, dan “Mandul” yang sering diucapkan
ayah. Maria bukan nama ibuku. Pasti perempuan itu. Mandul? Menikah?
“Ayah
akan menikah dengan Maria karena Ibu mandul?!” seruku terperanjat masuk ke
dalam arena konflik.
Sejurus
kemudian ayah menjawab tegas, “Kamu anak pungut yang pintar, Nak!”
***
399
kata.
Untuk
MFF Prompt #50 : Mereka Saling Berteriak.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
ternyata.... anak pungut :(
BalasHapusIya, rahasianya terkuak, huhu
BalasHapusjahat.
BalasHapusSiapa yang jahat, Mak? *clingak clinguk
BalasHapusJadi golput aja, jangan milih salah satu dari mereka *efek kampanye*
BalasHapus