Kereta Pukul 18.40
Pukul 18.40
ketika kuda besi yang kunaiki berjalan di atas bantalan rel menuju Solo. Seraut
muka yang kusebut wanita duduk termangu terantuk sendu. Sudut jendela kereta membenamkan
kepalamu yang berkerudung hitam. Nyaman rasanya melihat kau seperti itu.
Pukul 18.45
ketika lima menit pun tak kurasakan. Saat itulah sensor-sensor tubuhku melemah.
Bagaimana bisa aku yang lelaki ini diam saja. Berjejalan kumuh dengan penumpang
lain. Mendesak, mendorong, terhuyung-huyung. Sengaja membuatku berpindah. Enyah. Cemburu pada
keegoisanku yang bergeser pun tak sudi.
Sepuluh
menit mungkin telah berlalu. Aku sudah tidak lagi berkompromi dengan waktu. Kalau
saja bisa kubuat Yogya-Solo menjadi berjam-jam, maka tak ada lagi yang kutunggu
selain melihatmu terjaga. Sadar penuh akan kehadiranku.
Klaten.
Pemberhentian selanjutnya. Penumpang keluar masuk serabutan. Menyajikan pemandangan klasik masyarakat
negeri ini. Semrawut. Kusut.
Dua menit. Kuda
besi ini kembali melaju. Menjamuku dengan tempat duduk kosong bekas ibu-ibu.
Tak mengapa, setidaknya aku bisa melemaskan otot kaki dan meregangkan otot
pipi. Kau tidak turun. Masih terbenam di sudut itu. Membiarkanku mengagumi
wajah sendu. Kuharap bukan rindu yang membayangi air mukamu.
Stasiun
Purwosari menanti. Apakah kau akan turun di situ? Ah, mengapa tidak bersamaku
saja sampai pemberhentian terakhir. Berarti inilah saat yang tepat untuk diam
lebih lama. Ya, hanya memandangmu. Kau
dan aku hanyalah waktu yang terus berputar. Datang dan pergi. Jadi, tak usah
berharap lebih.
Dua meter
kita saling diam. Menyapa di awang-awang. Kau kini terlelap sempurna. Di situlah
aku menemukan makhluk Tuhan yang sempurna. Ya, hanya memandangmu saja. Lebih
asyik, lebih syahdu, kau dan aku.
Pukul 19.58.
Kulirik arloji yang detiknya sepadan dengan detak jantungku. Tenang. Kau menguap
lembut. Terkejut kegaduhan yang terjadi. Berjejalan penumpang menuju pintu
keluar kereta. Kau masih duduk memijit dua alis yang sabit. Lentik jemarimu
menyusur lipatan kerudung. Menjaga estetika fisik agar tetap elok di mata
pengagummu yang tak kausadari begitu banyaknya. Stasiun Balapan sebentar lagi. Tinggal
segelintir penumpang. Kau dan aku.
Tidak ada
lagi waktu tersisa. Pertemuan kebetulan ini akan sirna. Kau dan aku masih
memilih diam hingga akhir pemberhentian. Begitu seterusnya. Sampai punggungmu
lenyap ditelan pekat malam.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar