Sepuntung Rokok dan Sesesap Kopi
Malam
selepas gerimis menimbulkan bebauan tanah, dua lelaki duduk berdampingan. Aku
dan seorang lelaki muda yang mampir menginap semalam di kontrakanku. Tidak ada
jejamuan macam tamu istimewa. Hanya sebungkus rokok mild dan dua gelas kopi.
Aku diam,
bukan ... bukan karena aku kehabisan tema. Ini giliran lelaki muda di sampingku yang hendak bercerita tentang
bagaimana menikmati malam itu.
“Mari saya
ceritakan,” Lelaki muda itu menyeruput kopinya lalu menyulut ujung batang rokok
dengan pemantik.
Sesesap kopi
perbincangan malam itu di pinggir lapangan depan kontrakanku. Sejenak kami
bergeming menatap kelip bintang yang juga siap mendengarkan kisah lelaki muda
di sampingku.
“Saya lahir
dua puluh tiga tahun silam di pinggir kota tempat kita berpijak sekarang. Saya
datang membawa kebahagiaan bagi ayah dan ibu saya. Anak pertama mereka lahir
dengan bobot 2,5 kg. Saya tak tahu apa-apa saat itu. Hanya merengek minta susu,
cukup.” Hening sejenak lelaki muda itu menghisap lagi batang rokoknya.
“Waktu
bergulir, usia saya saat itu enam tahun. Saya tidak tahu lagi cara merengek
minta susu, namun saya mulai tertarik dengan pelajaran. Apa saja pelajaran yang
dikenalkan orang tua dan guru di sekolah. Saya ingin tahu banyak bahwa 1+1=2,
mengeja, menggambar, dan mengenal ilmu-ilmu pengetahuan. Saya tidak tahu betapa
cerdasnya saya waktu itu.” Lelaki muda itu mengapit batang rokok yang kedua.
Mulai dibakar, dihisap, lantas asap bergumul menyembur dari mulutnya. Tenang
dan pelan.
“Saat-saat
saya berseragam menggunakan badge
sekolah menengah pertama ataupun menengah atas, saya berterima kasih kepada
Tuhan. Saya tidak dikenalkan dengan suatu perkara yang menyangkut hati terlalu
dalam, terlalu pekat.”
“Cinta,
maksud Anda?” Aku menyela sembari menyeruput kopi.
“Bukan saya
yang kena virus itu karena saya tidak ingin cinta yang terjatuh. Pasti sakit,”
celetuknya seraya terkekeh.
“Bukan Anda,
lantas siapa?”
“Tentu saja
teman saya, siapa lagi?”
“Hmm.” Aku
termangu.
“Asal tahu
saja, teman saya itu orangnya tak terduga. Anda tidak akan percaya kalau dia
akan melakukan hal itu. Saya melongo ketika teman saya itu blak-blakan perihal kisah cintanya sampai pacarnya mau bunuh diri.”
“W ... What?!” Aku hampir memuntahkan
separuh kopi yang masuk ke mulutku.
Dengan
tenang lelaki muda itu menyeruput kopinya lantas batang rokok keduanya pun
mulai menjadi abu.
“Usia Anda
berapa?” tanyanya kepadaku yang masih melongo berharap cerita bunuh diri tadi.
“Eh, dua
puluh tiga. Baru bulan September kemarin ulang tahun.”
“Saya tahu
Anda pasti ingin saya bercerita mengenai pacar teman saya yang hendak bunuh
diri itu.”
“Ya, tentu
saja, bagaimana ceritanya?” sahutku antusias.
“Beberapa
tahun ini saya meyakini bahwa itu kisah cinta teman saya. Kenyataannya itu adalah
kisah cinta saya. Tidak ingin mengingatnya lantas sepakat agar otak saya
mengisahkan sebaliknya.”
“Mengapa
bisa begitu?” Apa alasan pacar Anda ingin bunuh diri?”
“Karena saya
ngotot tidak mau berhenti menghisap ini,” Lelaki muda itu merampas batang rokok
yang terselip di antara dua bibirku, menghisapnya lantas menyemburkan lagi
gumulan asap beraroma tembakau.
“Hmm,” Aku
termangu lagi, “jadi Tuhan benar-benar memberikan rasa bagaimana jatuh dan
cinta itu kepada Anda bukan? Anda tak perlu mengelak seharusnya, itu adalah hal
yang akan Anda sesali kemudian hari.”
Eh, apa yang kukatakan barusan? Aku juga mengelak dari kisah
cintaku yang dulu. Batinku terpancing.
Lelaki itu
tak berkutik dan menunjukkan wajah seolah berkata—Harusnya tidak usah dilanjutkan cerita tentang cinta-cinta begini.
“Saya
melepas masa sekolah berseragam lima tahun yang lalu. Nilai ujian tidak terlalu
membuat orang tua berdecak kagum namun cukup untuk memasukkan saya ke jenjang
selanjutnya.”
“Kuliah?”
tanyaku sendu. Entah mengapa cerita bunuh diri tadi sedikit membuatku
melankolis.
“Ya,
perguruan tinggi negeri yang tidak terlalu jauh dari tempat asal saya. Semester
awal yang menyenangkan,” Lelaki muda itu tersenyum menyeruput kopinya yang
mulai terlihat ampasnya, “Hal yang menyenangkan ketika bersua dengan teman
baru. Semester demi semester saya lalui bersama dengan teman-teman kuliah yang
satu tempat kos juga.”
“Lantas?”
Aku bertanya antusias karena lelaki muda itu tiba-tiba membeku menatap satu
titik yang berkelip di langit.
“Anda juga
sedang kuliah bukan? Semester berapa?” celetuknya.
“Eh,” Aku
terhenyak demi mendengar pertanyaan lelaki muda itu.
“Itulah yang
menjadi beban saya sekarang, pertanyaan yang sama mengenai kapan saya selesai
dengan kuliah ini lantas jadi apa nantinya saya ini, sedangkan akhir-akhir ini
saya hanya berteman dengan kail dan pancing.”
“Eh?!” Aku
tersentak hampir membelalak.
Segelas kopi
tandas di sesesapan terakhir. Sejenak dengan lembut lelaki muda itu menatapku
memperlihatkan air mukanya yang tersenyum simpul, “Tidak usah Anda jawab
pertanyaan saya dan mengenai cerita saya tadi karena saya hanyalah sepuntung
rokok yang Anda coba untuk tidak menghisapnya lagi dan sesesap kopi yang baru
saja tandas. Anda adalah saya sendiri.”
Aku
tertunduk membaur bersama satu kata terakhir yang kemudian senyap.
“Renungkanlah.”
***
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar