Merakit Kata

Merakit makna di balik kata...

  • Home
  • Download
  • Premium Version
  • Custom Theme
  • Contact
    • download templates
    • Link 2
    • Link 3

Menu

  • Home
  • Dear Diyar(i)
  • Fiksi Mini
  • Tentang Si Perakit
  • Merakit Gambar
Home Archive for 2015

Sudah pukul lima sore. Kuembuskan napas kesalku.

“Si Mala sudah lewat ya, Mbok?” tanyaku sambil melumat pisang goreng yang dijual Mbok Yati. Janda empat puluh tahunan itu paling hafal kapan Mala lewat di depan warungnya.

“Ndak tahu, Le. Biasanya jam segini dia mampir beli gorengan,” terang Mbok Yati sembari sibuk meladeni pembeli.
sumber

Tok…tok…tok.

“Masuk!” seru Pak Camat dari balik ruangan kerjanya.

Lelaki berperut buncit menghampiri Pak Camat lantas menyodorkan sebuah map berwarna hijau, “Pak, ada proposal dari Desa Banyusari.”

“Taruh saja di meja,” timpal Pak Camat tak menggubris sibuk mencoret-coret proposal yang menumpuk.
sumber
Adakah yang lebih nikmat daripada menyambut senja dan nada-nada di pekarangan? Adakah syahdu terhebat melebihi kicau burung kenari dan secangkir kopi tubruk beraroma sudut pedesaan? Si tua bermanja dimandikan lazuardi.

Dua pasangan bersahutan, bernyanyi, berirama. Mereka tahu ada kerinduan yang wajib ditumpahkan. Mereka adalah pertemuan yang enggan melewatkan kepergian hari. Mereka adalah harmoni yang berujung pada akor C mayor.
Aku menangis lagi.

Baru saja kakak perempuanku pulang dengan sumringah. Dia meyakinkanku yang sudah terlalu lelah.

Aku menangis semakin jadi.

Lidahku mati rasa seketika. Meratap kemalangan kekasihku tiba-tiba. Membatin kelakuan kakakku yang tak bisa kuterima. Kekasihku yang dicumbunya diam-diam. Lantas dicampakkan begitu kelam.  

sumber
“Kamu pernah kangen?” tanyaku setengah berbisik.
“Tentu dong, Mas,” dia menyahut datar. “Emang kenapa?”
“Baguslah, kalau gitu kamu bisa ngrasain apa yang sedang kualami.”
“Kamu kangen, Mas?”
Alisku terangkat. Matanya berhasil menangkap mimik mukaku yang seolah berkata, “Masih perlu kujelaskan ya?”
Aku cuma ... kangen. Bolehkah?
Dia datang sekitar tiga minggu lalu. Berkacamata, berhijab hijau toska berpadu dengan celana dan sepatunya. Kemeja hitamnya masih bisa kuingat. Dan jelas senyumnya menawanku dalam renjana hingga kini.


Sampai detik ini celana itu masih dikenakannya. Celana kesukaan yang tak pernah lupa dipamerkan kepada rekan-rekannya. Ada yang bilang celana itu diambilnya ketika jemuran tetangga sedang tak dijaga. Ah, kalau kata istrinya celana itu hasil dari jerih payah berjualan asongan setiap harinya. Istrinya tak pernah curiga dari mana asal celana itu. Toh itu hanya sebuah celana yang tak lebih dari penutup kemaluan suaminya.
Celana itu berwarna coklat. Hampir setiap hari Ramli memakainya. Anehnya si istri malah merasa senang dengan tampilan baru suaminya. Entah dari sisi trend mana celana coklat lusuh itu dipandangnya modis dan pas untuk ukuran suaminya. Tapi semenjak kasak-kusuk si istri kepada ibu-ibu tetangga perihal kepuasan batin yang diperolehnya tiap malam, kondisi kampung menjadi geger. Banyak gosip melanda bak jamur di musim hujan. Mulai dari celana itu membuat nafsu bercinta melejit berkali lipat. Hingga bisa menaikkan ketampanan setiap pria yang memakainya. Mulut ibu-ibu di kampung penuh busa menceritakan ini dan itu yang belum tentu benar adanya.

Malam itu keheningan kota menyergap sepasang muda-mudi ketika sebuah pertanyaan terlempar. Di sebuah kafe berlatar ala warung kopi. Pada pukul tujuh lewat lima perempuan itu bertanya memecah canda, “Apa kau mencintaiku, Ragil?”
Hening sejenak seakan semesta membungkam keadaan. Seakan alam meredupkan pelita menjadi temaram.

“Silakan dipelajari MOU-nya, Pak.”
“Sebentar, Mas. Ini benar harga barangnya segini?”
“Iya, Pak. Kalau kondisinya baru, biayanya memang agak tinggi.”
“Hm, kalau saya pesan banyak bisa diskon nggak, Mas?”
“Tapi kondisinya saya nggak bisa jamin, Pak.”
“Nggak apa-apa, cuma buat mahasiswa nggak perlu yang bagus, Mas.”
“Bapak minta berapa banyak?”
“Sepuluh saja, Mas.”
“Baik, saya kasih diskon 20 persen.”
“Berapa lama, Mas? Saya butuh dua hari lagi.”
Si pemuda mengurut kening.
“Saya kasih tambahan dua juta, Mas,” si bapak tak sabar.
“Baik, nanti malam saya akan langsung bergerak, Pak.”
Gila, sepuluh mayat cuma dibayar dua belas juta! Batin si pemuda

#FFRabu
100 kata untuk  Monday FlashFiction.



Sejak Si Parti anak Pak Lurah suka nongkrong di warung milik Pak Burhan, dia menjadi pintar bersolek. Kecantikannya kini hampir menyaingi artis-artis di televisi. Entah dari mana Parti mendapatkan alat-alat rias yang menambah mukanya jadi lebih menor. Teman-teman SMA-nya tidak satu pun yang nampak sok kaya dan membelikan pernak-pernik make up untuk Parti. Begitu pun Pak Lurah yang notabene orang sederhana. Parti jelas tidak berani minta belikan make up yang harganya lebih mahal dari harga sembako.

“Burhan tolong belikan lipstik merah muda untuk Parti. Dia pasti cantik malam ini.” Burhan melangkah pergi menuruti pelanggan setia yang kerap “memakai” jasa Parti.

100 kata ditulis untuk Monday FlashFiction #FFRabu.


Letih di sini, kuingin hilang ingatan....

Gerimis merona malam ini. Aku bisa merasakan warna pipimu memerah delima. Kau pasti menginginkannya.

Menghilanglah dari kehidupanku.
Enyahlah dari hati yang telah hancur.
Kehadiran sosokmu kian menyiksaku.
Biarkan di sini ku menyendiri.

Pergilah bersamanya di sana.
Dengan dia yang ada segalanya.
Bersenang-senanglah sepuasnya.
Biarkan di sini ku menyendiri.

Terlintas keinginan tuk dapat.
Hilang ingatan agar semua terlupakan.
Dan kuberlari sekencang-kencangnya.
Tuk melupakanmu yang telah berpaling.

Di sini, kembali, kau hadirkan ingatan yang seharusnya kulupakan dan kuhancurkan adanya.

sumber

Pilih dia atau aku, Lucie?

“Jangan gegabah! Berpikirlah!” lelaki di depanku berteriak. Mukanya pasi melihatku.

Aku tersudut. Suasana ini amat mendesak. Waktuku tak banyak. Demi Tuhan aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku menyerah kalah melawan egoku.

“Lucie! Kumohon tenanglah!”

Pandanganku kabur, pun pendengaranku.


Ini tentang rindu....

Tentang rasa yang sampainya tak kuketahui. Pengharapan semu.

Ini tentang rindu....

Yang hakikinya tersalur dalam sunyi nan tenang. Tidak semudah bertutur biasa. Rinduku amatlah sakral. Namun membal kala kausadari arahnya dariku. Dan di situlah aku terkapar meraih punggungmu di awang-awang. Menggamit jemarimu di pikiranku yang imajiner. Abstrak yang terlalu lama lantas melumer bersamaan paes di wajahku.

“Im alone and you’re my only friend....”

Aku dikerumuni ribuan cahaya lampu jalanan. Sendiri berkelakar dengan risau. Hanya kamu yang kupikirkan. Tidak lebih untuk menyapa, “Selamat malam?” atau “Mari kita keluar cari makan.” Memang itu kata-kata mujarab dariku yang selalu sukses kamu pelintirkan ke sudut di mana aku akan  termangu. Mengulur benang panjang hingga lenyap di balik awan. Merenungimu sendirian dan cukup hanya kamu saja. Separuh jiwaku.

“Seem so hard to share just with you....”

Sesungguhnya aku ini cuma sepi yang dibalut kangen. Yang tak tertepis memujamu. Menantimu untuk berbagi. Mengajakmu untuk menimbang seberapa berat arah yang kutuju. Hanya kamu yang sesungguhnya akan mengerti mereka adalah musuh-musuhku. Lawan kita yang belum kita sadari. Kamu harusnya rela untuk dibagi menjadi serpihan diriku.




Pukul 18.40 ketika kuda besi yang kunaiki berjalan di atas bantalan rel menuju Solo. Seraut muka yang kusebut wanita duduk termangu terantuk sendu. Sudut jendela kereta membenamkan kepalamu yang berkerudung hitam. Nyaman rasanya melihat kau seperti itu.

Pukul 18.45 ketika lima menit pun tak kurasakan. Saat itulah sensor-sensor tubuhku melemah. Bagaimana bisa aku yang lelaki ini diam saja. Berjejalan kumuh dengan penumpang lain. Mendesak, mendorong, terhuyung-huyung.  Sengaja membuatku berpindah. Enyah. Cemburu pada keegoisanku yang bergeser pun tak sudi.

Sepuluh menit mungkin telah berlalu. Aku sudah tidak lagi berkompromi dengan waktu. Kalau saja bisa kubuat Yogya-Solo menjadi berjam-jam, maka tak ada lagi yang kutunggu selain melihatmu terjaga. Sadar penuh akan kehadiranku.


Gue terdiam berpikir sambil elus-elus janggut. Setelah beberapa menit berlalu, gue beranjak mendekati tirai itu dan bersiap membukanya.

“WOI!! JANGAN!!” Teman-teman gue di belakang berseru.

Ekor mata gue menangkap dua tangan yang diayunkan ke kanan lalu ke kiri persis seperti bilang, da dah. Dua tangan itu masih men-da-dah-i gue disusul dua tangan lagi di sampingnya. Gue mengira itu bukan ucapan selamat tinggal ke gue secara simbolis. Lebih tepatnya mengumpat ke gue, gila lo! Jangan buka tirai kedua. Itu Zonk! Setidaknya itu yang berhasil gue terjemahkan dari bibir teman-teman gue yang membentuk bulatan seperti donat yang tengahnya bolong.
Langganan: Postingan ( Atom )

Mari Mencari

Sembari Dengarkan

Arsip Rakitan

  • ►  2017 (3)
    • ►  Juli (3)
  • ►  2016 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ▼  2015 (15)
    • ▼  November (1)
      • JANJI MALA
    • ►  Oktober (2)
      • PAK CAMAT
      • GITAR USANG
    • ►  September (1)
      • #FFRABU - AIR MATA
    • ►  Juli (2)
      • Kangen
      • Celana
    • ►  Juni (1)
      • Lelaki Ketiga
    • ►  April (1)
      • #FFRabu - MOU
    • ►  Maret (3)
      • #FFRabu - Lipstik Buat Parti
      • Ingin Hilang Ingatan
      • Aku Memilihmu
    • ►  Februari (3)
      • I miss you
      • Just Holding On
      • Kereta Pukul 18.40
    • ►  Januari (1)
      • Tirai Kedua
  • ►  2014 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (17)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Desember (4)

Rakitan Sebelumnya

  • Ingin Hilang Ingatan
    Letih di sini, kuingin hilang ingatan.... Gerimis merona malam ini. Aku bisa merasakan warna pipimu memerah delima. Kau pasti meng...
  • #FFRabu - Lipstik Buat Parti
    Sejak Si Parti anak Pak Lurah suka nongkrong di warung milik Pak Burhan, dia menjadi pintar bersolek. Kecantikannya kini hampir menyaingi ...
  • Aku Memilihmu
    sumber Pilih dia atau aku, Lucie? “Jangan gegabah! Berpikirlah!” lelaki di depanku berteriak. Mukanya pasi melihatku. Aku t...
  • #FFRabu - MOU
    “Silakan dipelajari MOU-nya, Pak.” “Sebentar, Mas. Ini benar harga barangnya segini?” “Iya, Pak. Kalau kondisinya baru, biayanya meman...
  • Hanya Teman (Kata Mutia)
    Dulu. Dulu kita punya cerita. Teman. Dulu kita berteman. Sampai sekarang pun kita berteman. Hanya berteman. Sampai akhirnya waktu mu ...

Monday Flash Fiction

Monday Flash Fiction
Tempat untuk berfoya-foya para FlashFiction Lovers

Follow Twitter

Follow @ardirahardian

Cuplikan Twitter

Tweets by @ardirahardian

Kawan Blogger

Langganan

Postingan
Atom
Postingan
Semua Komentar
Atom
Semua Komentar

Si Perakit Kata

Unknown
Lihat profil lengkapku

E-book Monday Flashfiction 1

E-book Monday Flashfiction 1

E-book Monday Flashfiction 2

E-book Monday Flashfiction 2

Pada Sebuah Nama

Pada Sebuah Nama

Merakit Kata (Book Version)

Merakit Kata (Book Version)
Copyright 2014 Merakit Kata.
Distributed By My Blogger Themes | Designed By OddThemes