Dinding Kamar
Aku
sangat senang saat Bu Ita datang bersama Mas Parjo menjengukku malam ini.
Setelah seharian hanya kupandangi wajahku yang terpantul dari cermin kamar,
akhirnya ada sosok lain yang bisa menemani menghabiskan sisa hari ini. Aku tak
tahu penyakit apa yang hinggap di tubuh kurus ini. Yang terlihat di cermin itu
hanya wajah yang pucat dengan kelopak mata gelap. Mungkin aku kurang tidur,
tapi rasanya aku sudah tidur cukup.
Rasanya
sudah lama aku masuk kamar ini. Kamar baru yang sudah tak terawat. Lantainya
berkerak, dinding kusam dan dipan yang sering mengulet nyaring. Aku ingat kamar
ini pemberian Bu Ita dan Mas Parjo.
“Samm,
sekarang kamar ini jadi milikmu,” kata Bu Ita menepuk bahuku.
Aku
hanya mengangguk tanda sepakat. Lalu mereka pun meninggalkanku sendirian untuk
berkenalan dengan kamar berukuran 3x 3 meter ini.
***
Sebuah
telepon tergeletak di atas meja kamar. Bu Ita bilang telepon itu untuk
jaga-jaga kalau aku butuh sesuatu. Sakitku ini benar-benar membuatku tak bisa
keluar rumah. Telepon itu membuatku kangen pada seseorang. Aku ingin berbicara
dengannya.
“Hai,
Sayang, apa kabar?” kataku menanyakan kabarnya.
“Baik,
Sayang, kamu apa kabar?”
“Aku
lagi gak enak badan, Sayang.”
“Oh
ya udah buat istirahat ya.”
Telepon
ditutup dari seberang. Aku senang bisa menyalurkan rasa kangen meski hanya
mendengar kabarnya.
Gadis.
Nama perempuan yang tadi kutelepon. Dia selalu bisa membuatku tersenyum.
Suaranya yang lembut selalu memenuhi isi kepalaku. Mungkin bisa menjadi obat
mujarab untuk sakitku ini. Gadis telah menjadi pacarku setahun yang lalu. Dia
orang yang penuh kejutan. Selalu bisa membuatku kaget dengan kejutan-kejutannya
yang menyenangkan. Gadis, kuharap kamu tetap seperti itu dan aku berharap pula
hubungan kita bisa melangkah ke arah yang lebih serius. Kamu selalu bisa
membuatku tersenyum. Sampai sakit pun aku masih bisa tersenyum jika
mengingatmu.
***
Sehari
setelah kudiami kamar ini, Bu Ita mengabulkan permintaanku—memberikan foto
Gadis—Aku tersenyum melihat foto Gadis yang tertempel di dinding kamar. Dia
membuat hidupku lebih berwarna. Ya, senang dan sedih selalu datang dari foto
yang diam memandangku angkuh itu. Setiap malam aku selalu berbicara dengannya.
Ya, dengan foto itu. Dia yang membuatku tersenyum, tertawa, menangis dan marah.
Segala emosi terserap dingin oleh dinding kusam itu. Aku masih bisa mengingat
wajahnya meski Mas Parjo akhirnya mengambil foto Gadis beberapa hari lalu. Mas
Parjo malah memarahiku karena mencabut kabel telepon—fasilitas yang diberikan
rumah sakit—ini. Mas Parjo aneh, hampir setiap hari aku telepon dengan Gadis.
Tak mungkin aku mencabut kabel telepon itu.
Lama-lama
aku mulai terbiasa berbicara dengan dinding bekas tertempelnya foto Gadis.
Meski kini dinding itu kosong tak ada lagi foto Gadis memandangku di sana.
Namun bayang Gadis sudah ada di mana-mana. Di langit-langit kamar, di cermin,
di pintu dan jendela semua ada bayangnya. Menenteramkan malamku. Mendamaikan
tidurku. Entah ini berkah atau kutukan membuat namanya selalu kusebut.
Aku
sedih Gadis yang kucinta itu mengecewakanku. Dia memilih laki-laki lain saat
aku berniat melamarnya. Ya, Gadis selalu bisa memberikan kejutan. Emosiku
meluap memuntahkan amarah. Aku mulai muak dengan semua ini. Aku membenci Gadis
dengan sangat. Astaga! Rantai itu masih
saja mencengkeram kakiku seakan tak mau lepas. Kamar apa ini?! Aku muak dengan kamar
terkutuk ini. Muak dengan dokter jiwa bernama Ita dan pembantunya Si Parjo itu.
Muak!
***
---Terinspirasi
dari lagu “Ketidakwarasan Padaku – Sheila on 7”---
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar