Fianti
Fianti, nama seorang perempuan yang
sedang mengaduk-aduk hatiku. Entah bagaimana awalnya aku merasakan itu. Kami
berkenalan sudah cukup lama. Sejak diadakannya liga sepak bola di sekolahku
setengah tahun lalu. Rambutnya hitam panjang, matanya bersembunyi di balik kaca
transparan. Tatapannya masih sama sampai sekarang. Tetap membuatku salah
tingkah.
Canggung, rasanya hambar sekali obrolan
antara aku dan Fianti. Aku seperti kehabisan peluru agar suasana tetap hangat
dengan percakapan. Pertanyaanku hanya dijawab pendek-pendek olehnya.
“Eh, Fianti, besok kita berangkat
sekolah bareng ya,” ajakku saat bertemu dengan Fianti di kantin.
“Boleh deh,” jawabnya pendek.
“Eh rumah kamu di mana sih?”
“Deket sekolah kok.”
“Di mana?” ulangku belum jelas.
“Jalan Patimura, sebelah toserba.”
“Oh, mmm ... rumah tingkat yang pintu
gerbangnya cokelat ya?”
“Bukan, sebelah toserba,” dia meralat.
“Oh, mmm ... sebelah toserba ya? Gimana
kalau nanti kuantar pulang, sekalian biar tahu rumahmu.”
“Gak ngrepotin nih?” tanyanya
meyakinkan.
“Gak kok, santai aja,” balasku mantap
dengan senyum mengembang.
Fianti hanya tersenyum dan mengangguk
pelan tanda sepakat. Aku bahagia. Eh, ada apa? Mengapa aku sebahagia ini?
Mungkinkah aku ...
Terlalu cepat rasanya kalau aku seyakin
ini. Aku bukan tipe laki-laki yang tertarik pada pandangan pertama. Biasanya
aku selalu mempertimbangkan dari sisi lain. Tapi dengan Fianti. Ah, ada apa
dengan dia? Mengapa aku selalu gugup di depannya?
***
Tiga hari berturut kutepati janji kepada
Fianti. Rumahnya benar di sebelah toserba, bukan rumah mewah bertingkat dengan
gerbang cokelat. Rumahnya sederhana seperti kebanyakan rumah di sekitarnya.
Penghuninya juga sederhana, tidak sombong dan baik.
Fianti. Wajahnya tidak cantik, tidak
pula buruk. Hanya saja gurat senyumnya itu selalu menenangkan. Baiklah, aku
membiarkan hatiku berkecamuk antara mengakui perasaanku—suka—padanya atau
bertahan dengan melihat dari segi yang lain. Aku membiarkan diriku pesakitan.
Fianti, hari ini semua anak sekolah
libur. Hari Minggu kesekian kalinya dalam hidupku. Hari ini aku harus
melepaskan satu pilihan. Perasaan atau ego. Ini terakhir kali kita jalan
berdua. Karena setelah ini mungkin segalanya akan berubah. Berubah lebih baik,
atau lebih buruk. Aku akan segera tahu.
Hari Minggu semua berjalan seperti
biasa. Pedagang itu berjualan di lapaknya yang sempit. Polisi berdiri di tengah
perempatan mengatur lalu lintas yang ramai. Ibu-ibu di sana berbelanja sesuatu
dengan menenteng tas. Tempat ini—alun-alun—tetap ramai di hari Minggu dengan
pengunjungnya. Di sudut alun-alun yang berumput hijau segar, aku duduk bersama
Fianti. Melepas penat setelah seminggu berkutat dengan pelajaran sekolah. Bukan
hanya dengan pelajaran sekolah, buatku Fianti juga menjadi beban pikiran.
Benar-benar harus segera kulepaskan perasaan yang mengganjal ini.
“Fianti, aku ingin ... mmm ... aku,”
sialan, aku gugup bukan main.
“Apa?”
“Mmm ... aku ingin bertanya sesuatu,
boleh?”
“Iya, boleh.”
Aku tegang, bersiap untuk mengungkapkan.
Semoga pengungkapan ini tidak membuatnya kaget. Aku harus merangkai kata agar
tidak terkesan memaksa.
“Bolehkah aku jadi pacarmu?” tanyaku.
Fianti terkejut. Matanya terbelalak, tubuhnya
menegap tanda terkejut, “Apa?!”
“Boleh gak aku jadi pacarmu?” kuulangi
pertanyaan yang seakan tak memaksa itu.
Fianti terhenyak diam. Mulutnya terkunci
rapat tak siap menjawab.
Hening sejenak, perempuan di sebelahku
menundukkan kepala. Kulihat dia memejamkan mata merenung. Dua menit berselang
jawaban pertanyaanku siap dilontarkan. Fianti bersiap, aku menyimak seksama.
“Kasih aku waktu untuk menjawab
pertanyaanmu, boleh?” ucap Fianti pelan.
“Boleh, kapan pun kamu siap menjawab,
aku akan siap mendengar dan menerima keputusanmu,” balasku dengan senyum tabah.
***
Sebuah kalung berbentuk hati bersembunyi
di balik genggamanku. Kalung yang akan menentukan statusku. Apakah aku akan
berpacaran dengan Fianti atau tidak. Rumah sederhana di sebelah toserba, aku
bersiap ke sana dengan penuh kemantapan. Aku harus menerima apa pun
keputusannya. Dia bijak, tidak membuatku lama menunggu. Tiga hari setelah
“kutembak” dia di alun-alun itu. Wajah sederhana dengan gurat senyum yang masih
membuatku salah tingkah itu telah menunggu.
***
Hari Kamis yang cerah. Semua masih sama
seperti hari Kamis biasanya. Berangkat sekolah menuntut ilmu, bertemu teman,
bertemu guru. Kulihat Fianti masih dengan senyumnya yang sederhana. Kali ini
dia terlihat cantik. Bukan karena wajahnya yang semakin putih atau rambut yang
sudah terpangkas rapi membuatnya fresh.
Dia terlihat cantik mengenakan kalung separuh hati yang kuberikan. Dengan bangga
kuraba kalung separuh hati yang menggantung di leherku.
“Terima
kasih telah menerimaku, Fianti.”
***
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar