Separuh Kalung Hati


Kupandangi benda kecil berwarna perak. Benda yang telah kehilangan kilaunya. Aku terduduk di teras depan mencoba memutar kembali dari mana benda itu berasal. Rasanya sudah lama, bahkan aku tak ingat lagi kapan persisnya benda itu menghiasi tubuhku. Maaf, aku lupa, teruntuk orang yang telah rela memberikan benda ini. Sekali lagi maaf.
***
Aku mulai gelisah. Mencoba tetap menjalani kehidupan dengan biasa. Perasaan itu selalu menguntit dan membuatku tak tenang.
“Kenapa? Harusnya aku tak perlu segelisah ini. Bukankah aku pernah mengalami yang seperti ini, dulu? Ah, iya dulu sekali dan aku hampir lupa rasanya,” gumamku sembari memandang refleksi yang ada dalam cermin kamar.
Sebisa mungkin kubuang angan yang akhir-akhir ini memenuhi isi kepala. Tentang seorang laki-laki. Tentang apa yang telah dia lakukan untukku. Tentang pengorbanannya yang semakin hari semakin besar. Seolah-olah hanya pesannya yang kuingat, “Kutunggu jawabmu tiga hari lagi.” Membuatku tersadar tentang hari penentuan itu. Besok!

Bagaimana mungkin laki-laki itu menyatakan cintanya di depanku. Saat aku merasa semua biasa-biasa saja. Ya, hari-hari itu seperti biasa. Orang-orang ber-sliwer-an di jalan. Pedagang kaki lima yang buka lapak di pinggir jalan. Anak-anak sekolah sepertiku yang libur di hari Minggu. Semua berjalan seperti biasa, tidak ada sesuatu yang aneh kurasakan. Entah angin apa yang menampar pipiku agar aku tersadar ada laki-laki yang kini sedikit canggung mengungkapkan isi hatinya. Aku bahkan tidak mengira hari ini dia menembakku—meminta izin—agar aku menjadi pacarnya. Astaga! Dia memintaku untuk segera menjawab. Hati ini bergetar sangat, namun jawaban itu belum kutemukan.
“Maaf, mmm ... aku belum bisa kasih kamu jawaban. Tolong kasih aku waktu.”
“Ya, tentu saja. Aku tidak akan memaksamu jika kamu belum siap menjawab.”
***
Aku terdiam di teras depan mencoba mendamaikan perang batin di dalam diriku. Laki-laki itu duduk di samping bersamaku. Jemari tangannya saling merekat mencoba bersabar menunggu keputusan. Ya, sudah kuputuskan dan kuyakinkan hati untuk menjawab. Semoga keputusan yang tepat.
“Baiklah, kita jalani saja dulu,” jawabku pendek mantap.
“Artinya kamu terima cintaku? Kita jadian?” laki-laki itu masih ragu.
“Iya...” Aku mengangguk pelan.
Laki-laki itu kini tersenyum lega mendengar jawaban yang telah dinanti-nantikan. Kami berdua hening sejenak seperti kehabisan kata. Oh, tidak. Ternyata dia diam bukan karena gerogi. Dia diam mengambil sesuatu dari saku celana dan sukses membuatku penasaran. Apa itu?
***
Hujan membuyarkan lamunan yang sukses menyita waktuku. Aku tersadar dan kembali ke alam nyata. Ya, alam nyata yang sebenarnya. Masih kupandangi benda kecil berwarna perak yang ada di genggamanku. Benda yang dulu dia berikan saat kami duduk bersama di sini, di teras depan rumahku. Maaf, aku tidak bisa menjaga benda yang dia berikan dengan baik. Respati, kini aku seperti separuh kalung ini. Separuh kalung hati yang kusam dan tergores. Separuh kalung yang sendiri.
***

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 komentar:

Posting Komentar