Merakit Kata

Merakit makna di balik kata...

  • Home
  • Download
  • Premium Version
  • Custom Theme
  • Contact
    • download templates
    • Link 2
    • Link 3

Menu

  • Home
  • Dear Diyar(i)
  • Fiksi Mini
  • Tentang Si Perakit
  • Merakit Gambar
Home Archive for 2014


Sejujurnya aku suka ketika kau melihatku dari jarak satu atau dua meter di depanku. Ada sesuatu yang membuatku enggan melepas tatapan meski sekejap. Jelas aku menikmatinya—melihatmu dari dekat.

Ke mana pun kau pergi, sesungguhnya aku hanyalah bayanganmu saja. Menguntitmu seakan-akan aku pemuja yang takut kau kenapa-kenapa. Jujur saja aku lebih suka kita bertemu di tempat yang tenang bedua saja. Tidak dengan temanmu. Tidak dengan siapa pun.


“Pertengkaran tadi harusnya gak terjadi. Gue pikir tindakan gue udah bener. Dasar penyanyi gak waras, mana ada penyanyi bawain lagu yang....”

“Uwaaaa ... gue dapet setlist lagunya!” seru seorang cewek memotong uneg-uneg yang lagi gue ungkapin.

“Gila nih cewek teriak gak tanggung-tanggung kencengnya,” gerutu gue kesel.

Harusnya ini bakalan jadi konser yang unik kayak nama penyanyinya—Nerry. Asalkan dia dengerin saran gue meski cuma pakai coret-coretan gini. Si Yama itu juga ikut-ikutan aja nurut banget sama si Nerry.

Nama yang udah meroket kolaborasi dengan alat musik yang gak semua orang mumpuni ditambah catatan-catatan lagu dari gue. Harusnya tepuk tangan penonton bukan untuk lagu terakhir yang jelek itu.
**


Malam selepas gerimis menimbulkan bebauan tanah, dua lelaki duduk berdampingan. Aku dan seorang lelaki muda yang mampir menginap semalam di kontrakanku. Tidak ada jejamuan macam tamu istimewa. Hanya sebungkus rokok mild dan dua gelas kopi.

Aku diam, bukan ... bukan karena aku kehabisan tema. Ini giliran lelaki muda di  sampingku yang hendak bercerita tentang bagaimana menikmati malam itu.

“Mari saya ceritakan,” Lelaki muda itu menyeruput kopinya lalu menyulut ujung batang rokok dengan pemantik.

Sesesap kopi perbincangan malam itu di pinggir lapangan depan kontrakanku. Sejenak kami bergeming menatap kelip bintang yang juga siap mendengarkan kisah lelaki muda di sampingku.

sumber


“Gimana rencanaku, Kak?” tanya Agil mendesis.
“Aku sepakat, Gil. Kuyakin si Robi gak bakal besar kepala lagi,” Tomo menyeringai.
“OK. Aku pastikan kamarnya selalu terbuka sampai besok pagi, Kak.”
Agil segera menjalankan misi pertama—membuat Robi lengah.
Malam menjelang. Tomo mengendap masuk kamar Robi.
“Kerja bagus, Gil,” batin Tomo mendapati Robi tertidur pulas.
Sekejap dompet coklat tua Robi yang tergeletak di meja diraihnya. Misi selesai.
“Dompet Robi hilang dicuri orang.” Begitu kata Tomo pada tetangga kos yang lain keesokan harinya.
Anak kos lain yakin pencurinya pasti orang dalam. Kos tempat tinggal mereka adalah kos paling aman dengan dua satpam jaga setiap harinya. Apalagi pagar tinggi melingkari area kos dengan segala pernak-pernik kawat berduri.

Sumber

“Kamu yakin nglakuin ini?”
Ranti mengangguk mantap.
Bau kemenyan memenuhi kamar menyengat hampir membuatku pingsan.
“Kamu yakin, Ran?” ulangku.
Ranti menatapku jengkel demi pertanyaan yang kesekian kalinya.
“Cuma dengan cara ini aku bisa mengungkap semua, Joy,”
Aku bergeming sementara Ranti masih sibuk mempersiapkan peralatan-peralatannya.
“Ka ... kamu mau pake boneka pemberianku juga!” Aku terkejut.
“Terima kasih bonekanya, Joy. Setidaknya ini berguna gak cuma jadi teman tidur,” ucap Ranti menaruh boneka teddy bear di antara kami.
“Siap?” tanya Ranti.
Aku menggeleng.
Lampu kamar dimatikan. Sejurus kami bermandikan cahaya lilin.
Ranti gak banyak bicara lagi. Matanya terpejam merapal mantra sedangkan aku memegangi boneka teddy bear sesuai instruksi Ranti.
“Jelangkung ... jelangkung datang gak dijemput pulang gak diantar....”


Entahlah, sudah berapa kali aku melihat Nadia meremas-remas tangan, menutup mata dan telinga. Tubuhnya gugup gemetaran setiap pertengkaran itu di mulai. Sungguh kebiasaan yang membuatku trenyuh.
Nadia adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMP itu mengeluh kepadaku. Melempar pertanyaan yang aku pun tak tahu jawabannya. Hanya orang tua kami yang tahu—yang kami tahu mereka selalu bertengkar akhir-akhir ini.
Di dalam kamarku kami menguping atau lebih tepatnya tak sengaja mendengar—karena kami mulai terbiasa dengan pertengkaran orang tua.
Aku bersama Nadia. Sementara ayah dan ibu berada tak jauh dari kami. Tetapi kami tak melihat keduanya. Kami hanya mendengar suara-suara mereka saling berteriak. Lalu suara itu menghilang. Tak terdengar lagi.


Merah. Lulu bilang warna merah itu keberanian. Lambang dari sikap yang tegas. Dulu aku pernah melihat warna itu dalam darahku. Menyembul dari balik luka. Menempaku agar kuat.
Biru. Aku menyukainya sangat. Biru adalah perjalanan sang mentari yang lahir dari rimba malam. Setiap kepalaku mendongak, biru selalu jujur dan memenuhi janjinya. Tenang terbias rona lautan.  Tumpah di mataku.
Putih. Lulu bilang putih adalah warna yang membuatnya ceria. Dia suka awan yang menari-nari di panggung mahabesar. Menaungi kehidupan di bawahnya. Putih tidak hanya suci, melainkan keagungan yang tersirat dalam setiap ruh mewakili sifat Tuhan. Putih juga mewakili kejujurannya. Ah, satu lagi, putih yang kutemukan melapisi kulitnya.
Hitam. Warna yang menelisik bagiku. Warna yang kutemukan setelah kuning, hijau, dan kelabu. Menyeruput ingin tahuku satu demi satu. Namun Lulu tak pernah tahu. Meskipun tubuhnya dibungkus jaket hitam dan kakinya dibalut sepatu hitam.
“Sebentar lagi kau akan mengerti warna itu,” bisikku ketika tubuhnya enggan berdiri. Merebah berselimut takut dan cemas.
Hitam akan mengenalkannya dengan sesuatu yang abstrak. Lebih indah dari karya seni maestro mana pun. Berjanji setia menemaninya seumur hidup. Lebih dari janji kekasih mana pun.
Lulu, kini ceritakan kepadaku. Apa beda terpejam dan terjaga. Setelah biji matamu tercongkel. Apakah jaket dan sepatumu masih hitam?
***

200 kata.
Untuk MFF Prompt #49 : In the Eye of You
Sketsa oleh Betty Sanjaya


“Satu, dua, tiga.” Aku menghitung dalam hati.

Satu tanganku mengayun pelan ban karet hitam yang menggantung di dahan pohon mangga. Tali tambangnya berkerut sekeriput pipiku di usia senja. Aku tidak tahu mengapa ayunan ini masih ada sampai sekarang. Pohon mangga ini juga masih saja berdiri sendiri. Tidak berteman dengan tetumbuhan lain. Sendiri, sama sepertiku sekarang.

Upik, adik perempuanku satu-satunya yang kusayang. Selalu ada saja kenangan yang mampir di kepalaku tentangnya. Bahkan sampai sekarang, Upik masih saja datang dan berlalu di ingatan.

Aku menerawang bertahun-tahun silam hidup bersama satu keluarga besar di desa. Rumah saudara satu dengan yang lain tidak berjauhan. Maka kami tidak akan merasa lelah kalaupun berkunjung ke rumah satu dengan rumah yang lain dalam satu hari.

Lalu tentang tempat sekarang aku berdiri yakni di antara rumahku dan rumah kakek adalah tempat favorit untuk bermain. Ya, aku ingat ketika kakek membawa ban bekas dari bengkel Paman Sobri yang baru saja gulung tikar. Kakek mengikat ban itu dengan tali tambang lalu ujung tali yang lain diikatkan di salah satu dahan pohon mangga.


Ibuku adalah perempuan yang paling sayang kepadaku. Ibuku tidak pernah ragu untuk memberikan apa pun demi anak-anaknya. Meski beliau memperjuangkannya sendirian semenjak ayah tiada.
“Bu, aku minta uang,” pinta kakakku.
“Buat apa? Berapa?” jawab ibu.
“Aku mau beli sepatu, Bu. Seratus ribu.”
Ibu tidak akan banyak bertanya setelah jawaban yang didengarnya itu masuk akal. Apalagi berdebat dengan kakakku, ibu jelas tidak akan mau.
“Bu, aku juga minta uang,” pintaku.
“Buat apa, berapa?” jawab ibuku tidak berbeda dengan jawaban pada kakakku.
“Beli tas, Bu. Sama seperti kakak, seratus ribu,” jawabku sembari menunjuk selembar uang yang digenggam kakak.
“Nanti saja ibu belikan.”


Pagi ini kutemukan jejak berlumpur mengotori lantai rumahku. Kulihat jejak itu dengan seksama. Bukan seperti jejak kaki manusia. Jelas bukan karena jejak itu memiliki panjang kira-kira 30 cm dengan tiga jari kaki. Aku mengendap mencari tahu dari mana jejak kaki berlumpur itu berasal. Langkahku terhenti di depan pintu kamar kakak. Kutemukan jejak itu lagi setelah kubuka pintu kamarnya. Tubuhku membungkuk masih mencoba mencermati jejak itu. Sebuah cermin besar yang ada di lemari kakak menjadi pusat perhatianku sekarang. Jejak itu datang dari cermin itu. Dengan jantung berdebar kubuka lemari perlahan. Kosong! Tak kutemukan sesuatu yang aneh di dalam lemari. Pandanganku teralih pada seisi kamar yang berantakan.
“Oscar?!” kupanggil nama kakak lelaki satu-satunya.
“Oscar, di mana kau? Oscar!” seruku memanggil kakakku berulang-ulang.
Perhatianku tertuju kembali pada jejak kaki aneh dan berlumpur itu. Aku mengendap lagi. Langkahku terhenti, kali ini di depan cermin besar di ruang belakang. Jejak itu menghilang tepat di depan cermin besar yang kini membuatku penasaran.
***

Seberapa percayakah kau dengan apa yang ada di hadapanmu? Apakah setiap benda, padat, cair, gas yang kaurasakan itu nyata? Apakah tangan ini bergerak sesuai kehendakmu? Kaki ini berdiri menopang tubuhmu kemudian melangkah dan berlari melesatkan anggota badanmu dari satu tempat ke tempat lain. Apakah kaurasakan perpindahan itu? Apakah kaurasakan juga denyut nadi yang selalu memompa darahmu masuk dan keluar dalam jantung membuat kau tetap hidup? Lihatlah di sekelilingmu. Lukisan yang ada di depanmu menatap semu, kursi yang kaududuki, sinar mentari yang meresap hangat, lelaki yang tampan itu, udara yang kauhirup. Apakah semua itu nyata? Atau itu hanya refleksi? Sugesti, alam bawah sadar, hipnotis, semu, maya, entah apalagi sebutan itu. Sekali lagi apakah engkau percaya dengan semua ini?
Monolog-monolog itu selalu menghantui membuat batin ini berperang. Entah apa yang terjadi denganku setelah kejadian satu bulan yang lalu. Aku hanya ingat sebagian kecil detik-detik menjelang kejadian terakhir yang kurekam dalam otak. Ya, kaudatang ingin mengajakku makan malam. Duduk di sofa ruang tengah ketika aku melihatmu dari kamarku yang berada di lantai atas. Gaun yang kupakai ini pemberianmu waktu umurku bertambah satu membuat usiaku berkepala dua. Aku tak sabar, aku berlari menuruni tangga dan...
***

Dia pria yang paling kubenci sekaligus kutakuti selama ini. Aku tahu kepribadiannya aneh tak seperti orang normal. Sepintas fisiknya biasa saja. Tinggi besar lumayan tampan saat kulihat dia di pesta dansa. Beberapa kali kutangkap matanya awas menatapku.
Aku tahu dia orang yang aneh setelah kubaca pikirannya yang kotor. Tatapannya saja sudah terlihat bukan tatapan yang “baik”. Dengan basa-basi busuk dia merayuku, membelai rambutku. Tangannya selalu aktif mengelus-elus jemari lembut yang kumiliki. Aku membiarkannya. Hanya membatin menatap dirinya yang lain. Sisi baik dari si pria gila itu.
***

Tuhan, terima kasih....
Mungkin hanya ungkapan itu yang cocok dengan keadaanku. Bahkan aku sampai tak tahu harus bersikap seperti apa. Senang dan tertawa? Atau Menangis karena duka?
Tuhan, terima kasih....
Ketika bungah, Engkau datang. Ketika duka, Engkau pun datang. Siapa yang menyangka Engkau dekat denganku. Aku bukan nabi. Bukan orang “terpilih” untuk menyebarkan kebaikan. Hei! Bahkan aku masih jauh dari itu.
Tuhan, terima kasih....

Fianti, nama seorang perempuan yang sedang mengaduk-aduk hatiku. Entah bagaimana awalnya aku merasakan itu. Kami berkenalan sudah cukup lama. Sejak diadakannya liga sepak bola di sekolahku setengah tahun lalu. Rambutnya hitam panjang, matanya bersembunyi di balik kaca transparan. Tatapannya masih sama sampai sekarang. Tetap membuatku salah tingkah.
Canggung, rasanya hambar sekali obrolan antara aku dan Fianti. Aku seperti kehabisan peluru agar suasana tetap hangat dengan percakapan. Pertanyaanku hanya dijawab pendek-pendek olehnya.
“Eh, Fianti, besok kita berangkat sekolah bareng ya,” ajakku saat bertemu dengan Fianti di kantin.
“Boleh deh,” jawabnya pendek.
“Eh rumah kamu di mana sih?”
“Deket sekolah kok.”
“Di mana?” ulangku belum jelas.
“Jalan Patimura, sebelah toserba.”
“Oh, mmm ... rumah tingkat yang pintu gerbangnya cokelat ya?”
“Bukan, sebelah toserba,” dia meralat.
“Oh, mmm ... sebelah toserba ya? Gimana kalau nanti kuantar pulang, sekalian biar tahu rumahmu.”
“Gak ngrepotin nih?” tanyanya meyakinkan.
“Gak kok, santai aja,” balasku mantap dengan senyum mengembang.
Fianti hanya tersenyum dan mengangguk pelan tanda sepakat. Aku bahagia. Eh, ada apa? Mengapa aku sebahagia ini? Mungkinkah aku ...
Terlalu cepat rasanya kalau aku seyakin ini. Aku bukan tipe laki-laki yang tertarik pada pandangan pertama. Biasanya aku selalu mempertimbangkan dari sisi lain. Tapi dengan Fianti. Ah, ada apa dengan dia? Mengapa aku selalu gugup di depannya?
***

Zea. Di dalam lamunanku yang terjaga, kau berjanji untuk menjagaku. Berkata kau tak akan melepaskan genggamanmu. Kau yang membuatku seperti ini. Membuatku jatuh tenggelam ke dalam sisi gelapku. Sisi yang tak pernah kuharapkan ada dalam diriku.
Mereka bilang aku tak apa-apa. Mereka berkata aku baik-baik saja. Mereka tak tahu apa-apa tentangku. Hanya kau yang tahu semuanya tentang pria ini. Jiwaku rapuh perlahan bersama detik-detik waktu. Zea, beruntung kita bertemu lagi dalam sebuah kebetulan yang tak pernah bersahabat dengan kesengajaan. Di atas lantai dansa itu aku melihat kau menari seperti pohon yang tertiup angin. Lembut gemulai semilir menerpa wajahku menyadarkan bahwa itu kau. Satu hal yang kutahu dan ini akan terus kuingat sehingga setiap perkataan itu adalah milikmu. Ya, perkataanmu adalah pisau tajam yang mengiris pelan emosiku. Perkataanmu memutarbalikkan logika hingga emosi yang akan mengendalikan pikiranku. Entah keahlian apa yang kaumiliki semacam hipnotis atau apa mereka menyebutnya.
Jelas ini bukan diriku yang sebenarnya. Terkadang aku masih menyadari diriku yang memiliki “sisi baik” berbisik kepadaku. Membodohi setiap tindakanku. Menentang semua perkataan Zea.
***

“Aku yakin kamu pasti bisa, Honey.”
“Kamu yakin aku pasti bisa?”
“Harus ... Harus bisa, kamu harus bisa.”
Orang yang kuajak bicara itu menatapku dengan ragu. Tersirat sebuah ketidakyakinan bahwa dia harus mengubah hidupnya.
“Baiklah, akan kucoba ya.”
“Iya, aku akan terus mendukungmu, Honey.”
Akhirnya muncul juga keberaniannya untuk mengubah hidup. Aku tak sabar menanti akan seperti apa hidupnya nanti.
Tiga bulan kemudian....
“Honey, kamu yakin aku bisa berubah?” ucapnya ragu.
Demi Tuhan, aku sudah sedikit melihat perubahan darinya. Mengapa dia masih ragu?
“Iya, Honey, kamu bisa. Aku merasa kamu sudah ada perubahan walau sedikit. Tetap semangat ya. Kamu pasti bisa,” terangku berusaha meyakinkannya kembali.
“Baiklah, akan kucoba terus,” ujarnya mantap.

“Ah, akhirnya rambutku yang panjang terpotong juga.”
Wajah tampanku ternyata bukan omong kosong. Mereka benar menilai mukaku yang putih maskulin. Dengan tak percaya kuraba pipiku, hidung, mata dan yang lainnya. Setelah sekian lama mereka menghinaku, kini mulut mereka akan kubungkam dengan perubahanku.
Sebenarnya siapa aku ini? Terlahir dengan kodrat apa? Mengapa mereka tak puas mencelaku dengan sebutan yang asal-asalan. Tidakkah mereka mengerti? Atau beri aku kesempatan untuk mengerti siapa aku ini sebenarnya.
Perlahan sang waktu memberikan aku petunjuk siapa aku sebenarnya. Rumah mewah ini bukanlah rumahku. Foto pria dan wanita paruh baya itu bukan orang tuaku. Makanan, pakaian, uang, harta semuanya ini tipuan.

Lelaki itu duduk di depanku memandang seraut wajah perempuan tua ini. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lakukan. Sepasang suami-istri terbujur kaku tepat di hadapanku. Wajah mereka tak setampan dan secantik seperti sepuluh menit yang lalu saat mereka masih bisa tertawa. Cairan berwarna merah itu terus mengucur dari leher si suami. Mereka tewas bersimbah darah.
“Bukankah mereka pantas mendapatkannya?” lelaki itu bertanya padaku dengan senyum kepuasan.
Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya melempar pandangan kosong kepada dua mayat di depanku. Lelaki itu masih tersenyum memandangku. Sebilah pisau melekat erat di genggamannya dengan bercak darah di kedua sisinya.
Bukan hal yang baru ketika lelaki itu memberi kejutan—membunuh suami-istri—di  depanku. Dia bahkan berkali-kali mengirim kejutan-kejutan lain. Sebuah rumah, uang ratusan juta, selembar saham perusahaan besar pernah dia berikan padaku. Bahkan dunia ini pun akan dia berikan. Lelaki itu seperti memujaku dengan sangat.

“Pergilah John! Cintailah dia jika kau mencintaiku.”
Sialnya aku terlalu mencintaimu hingga otakku tak sanggup lagi memutar logika. Aku akan melakukan apa pun demi mencintaimu. Lani, aku tahu kau tak sanggup untuk merasakannya. Apa yang kurasakan bersama dengan Lena adalah untukmu. Untuk mencintaimu dan melakukannya untukmu. Ini gila, aku memang gila karena cinta yang salah.
Lani, apa yang akan kaulakukan jika aku ingin berhenti. Tertawa puas di depan wajahmu. Menjauhimu lalu tak lagi mencintaimu karena aku tersadar dari kegilaan ini. Apa yang akan kaulakukan jika aku terjatuh. Tak bisa lagi melakukan semua sandiwara ini. Apa yang akan kaulakukan jika aku ingin melawan. Memintamu agar aku terbebas menjadi diriku sendiri.
Lani, kaubilang saat itu kauingin melihat lebih jauh seberapa kuat cintaku. Lalu kau mengujinya dengan kegilaan ini. Sungguh, betapa aku bisa merasakan diriku yang lain merenggut paksa diriku yang sebenarnya.

Kupandangi benda kecil berwarna perak. Benda yang telah kehilangan kilaunya. Aku terduduk di teras depan mencoba memutar kembali dari mana benda itu berasal. Rasanya sudah lama, bahkan aku tak ingat lagi kapan persisnya benda itu menghiasi tubuhku. Maaf, aku lupa, teruntuk orang yang telah rela memberikan benda ini. Sekali lagi maaf.
***
Aku mulai gelisah. Mencoba tetap menjalani kehidupan dengan biasa. Perasaan itu selalu menguntit dan membuatku tak tenang.
“Kenapa? Harusnya aku tak perlu segelisah ini. Bukankah aku pernah mengalami yang seperti ini, dulu? Ah, iya dulu sekali dan aku hampir lupa rasanya,” gumamku sembari memandang refleksi yang ada dalam cermin kamar.
Sebisa mungkin kubuang angan yang akhir-akhir ini memenuhi isi kepala. Tentang seorang laki-laki. Tentang apa yang telah dia lakukan untukku. Tentang pengorbanannya yang semakin hari semakin besar. Seolah-olah hanya pesannya yang kuingat, “Kutunggu jawabmu tiga hari lagi.” Membuatku tersadar tentang hari penentuan itu. Besok!

“Braaak!”
Suara pintu dibanting keras olehnya. Wanita itu lari. Lari keluar menjauh secepat mungkin. Sesekali menengok ke belakang meyakinkan diri apakah ada seseorang yang mengejarnya. Bahkan dia tak sadar sepatu hitamnya tertinggal. Mataku awas melihatnya. Pipiku terangkat, sedikit senyum membentuk lengkungan indah di antara hidung dan dagu.
“I’m a creep, I’m a weirdo.”
***
Kemarin. Hari ketika aku melihatnya pertama kali di pesta dansa. Wanita itu menawan hatiku. Sebuah perasaan yang kerap membuat gundah namun aku tak menyadarinya. Beranggapan jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu adalah anggapan klasik. Aku tak mempercayai hal seperti itu. Aku adalah seorang penipu. Seseorang yang memiliki sisi lain dari sisi sebenarnya.

Aku sangat senang saat Bu Ita datang bersama Mas Parjo menjengukku malam ini. Setelah seharian hanya kupandangi wajahku yang terpantul dari cermin kamar, akhirnya ada sosok lain yang bisa menemani menghabiskan sisa hari ini. Aku tak tahu penyakit apa yang hinggap di tubuh kurus ini. Yang terlihat di cermin itu hanya wajah yang pucat dengan kelopak mata gelap. Mungkin aku kurang tidur, tapi rasanya aku sudah tidur cukup.
Rasanya sudah lama aku masuk kamar ini. Kamar baru yang sudah tak terawat. Lantainya berkerak, dinding kusam dan dipan yang sering mengulet nyaring. Aku ingat kamar ini pemberian Bu Ita dan Mas Parjo.
“Samm, sekarang kamar ini jadi milikmu,” kata Bu Ita menepuk bahuku.
Aku hanya mengangguk tanda sepakat. Lalu mereka pun meninggalkanku sendirian untuk berkenalan dengan kamar berukuran 3x 3 meter ini.
***

“Kenapa kamu cuma diam aja Niar? Jawab pertanyaanku! Beri aku alasan.”
Dua orang anak putih abu-abu terlihat bertengkar di sudut sekolahnya. Dengan sabar cewek bernama Niar itu menjawab sepatah-sepatah pertanyaan pacarnya. Suaranya melemah saat hujan ikut serta meramaikan suasana kelabu itu.
“Udah deh jangan bahas itu lagi. Aku capek,” rengek Niar.
“Capek katamu? Niar, aku ini cowokmu. Jawab pertanyaanku, beri aku alasan supaya aku gak mutusin kamu,” ancam Billy tegas sembari berkacak pinggang.
Niar menggeleng pelan, “Aku gak bisa jelasin. Percuma, kamu gak akan percaya ma aku.”
“Kalau itu maumu, oke kita putus!” Billy meninggalkan Niar yang masih tak percaya dengan ucapan pacarnya. Pertengkaran ditutup dengan hujan yang semakin deras.
***

“Lakukan John! Atau aku yang akan melakukannya!”
Wanita itu terus meneriakiku dari belakang. Aku tak punya waktu banyak dan tak bisa melawannya.
“Apalagi yang kautunggu John? Cepat!” perintahnya.
Keringat mulai bercucuran merembes keluar di setiap pori-pori tubuhku. Tanganku tak sehangat saat aku memeluknya.
“Satu....” Wanita di belakang mulai menghitung. Dia sudah tak sabar.
“Dua....” Dia mulai mendekat.
“Tiga!!!”
Mataku terbelalak. Lagi-lagi mimpi buruk itu datang. Kulirik jam yang angkuh terdiam menempel di dinding kamar. Sudah lewat dari tengah malam dan aku lupa sudah berapa kali kutenggak obat penenang. Ini gila, sungguh gila jika mimpi itu terus datang. Ah, aku lupa hari ini sudah masuk hari Minggu. Aku sudah janji dengan Lena untuk menemaninya latihan band. Masih ada beberapa jam untuk melanjutkan tidur. Jelaga di luar sana pekat berteman dengan hujan yang belum kunjung reda. Kurebahkan tubuh kembali merengkuh lelap bersama sisa malam.
***


“Apa bagusnya membuat suatu benda dari kertas?”
Aku hanya mengumpat dalam hati. Memang tak bagus, tapi cantik. Beruntung wajah cantikmu meredam kata hatiku merendahkan nilai benda-benda dari kertas ini. Ya, banyak sekali tercecer di sekitarku bermacam-macam origami, perahu kertas, pesawat kertas, bunga kertas dan kawan-kawannya. Seperti anak umur enam tahun saja rasanya kalau bermain denganmu. Eh, tapi untung rumahmu bukan terbuat dari kertas. Hatimu juga kuharap bukan terbuat dari selembar kertas.


 “Cantik”
Begitulah ungkapan yang cocok untuk paras yang kutemukan saat aku melihatmu. Karena tak hanya cantik di luar tetapi juga di dalam. Sungguh, lelaki mana yang tak beruntung jika memilikimu. Ah, tak ada salahnya kudekati dirimu untuk kupacari. Mungkin aku bisa menjadi lelaki yang beruntung itu.
Bahagia itu sederhana. Banyak orang mengatakan dan merasakannya. Ya, akupun merasakannya. Cukup selalu bersamamu dan semuanya terasa indah. Pendekatanku berbuah manis mengubah status lajangku menjadi berpacaran. Jejaring sosial ramai bertanya tentang status baruku. Dengan bangga kuperkenalkan Gadis kepada semua orang. Dialah pacarku sekarang.
***

Dingin, tangan gue gemetaran setelah hujan menyapu malam ini. Batang rokok udah nemenin gue lima belas menit jadi gak berasa. Di luar sana hujan masih belum berhenti, bikin gue males beranjak dari stand yang dari tadi gue tongkrongin. Stand ini gak terlalu gede jadi penuh sesak setelah tiga temen gue ikutan nimbrung jadi satu bareng gue.
“Sori bro lama,  udah main belum bandnya?” Tanya temen gue yang dari tadi pergi ngambil jas hujan di parkiran motor.
“Belum, bentar lagi kata MC” Jawab gue sambil menyodori satu batang rokok terakhir buat temen gue.

Kutemukan dia terduduk di pinggir trotoar mengaduh. Tangannya terus memegangi mata kaki yang tampak lecet. Celana panjang hitamnya ditarik dan luka yang bersembunyi akhirnya menampakkan diri. Gadis ini benar-benar kesakitan rupanya hingga tak bisa berdiri. Terpaksa kurangkul membawanya masuk ke dalam mobil.
“Kamu gak apa-apa?” Pertanyaan retoris yang keluar dari mulutku.
Gadis itu hanya mengangguk dan senyum simpulnya sedikit menjawab kalau dia tidak apa-apa. Mobil yang kukendarai mulai membelah jalanan mengantarkan si gadis malang pulang.
“Kamu ini kenapa kok bisa lecet kayak gitu?”
“Tadi ada burung yang tersangkut di antara ranting pohon. Aku coba melepaskannya dari ranting itu dan...”
“Jatuh” Putusku.
Gadis itu mengangguk dan tertawa kecil. Untung saja aku melihatnya saat melewati jalan yang biasa kulewati pulang dari kuliah. Dia adalah adik kelasku sudah akrab sejak kami berseragam putih abu-abu. Wajahnya tampak pucat, tubuhnya lemas saat kurangkul dia masuk ke dalam mobil.


Malam itu Sabtu pukul 21.30 mata dan telingaku masih dimanjakan oleh hingar bingar pentas seni kampus. Tak terasa satu jam acara telah membawaku larut seiring dengan band-band yang berlalu dengan lagu-lagunya. Kali ini aku sedang menikmati ‘Sleepwell’ band bergenre emo dengan lagu andalannya “Clinophobia”. Semua orang sudah tahu band indie ini memiliki jam terbang yang bisa dibilang lumayan tinggi. Aku pun kenal dengan para personel band itu. Termasuk si cantik Lena vokalis yang tak lain adalah teman sekelasku. Kami pernah main band bersama mengisi sebuah acara kampus. Dia orang yang totalitas jika di atas panggung.
Beberapa hal yang kutahu tentang Lena ternyata sempat membuatku tercengang. Lena memiliki banyak mimpi buruk semasa kecilnya. Dia sempat dianggap gila oleh orang tuanya sendiri karena menceritakan hal yang tidak nyata itu. Mimpinya selalu menghadirkan halusinasi yang berlebihan hingga hampir membuatnya jatuh ke dalam jurang. Hal itu masih terjadi hingga dia beranjak dewasa. Pada suatu titik yang amat membuatnya frustasi sehingga dia tak pernah tidur. Lena adalah inspirasi dari lagunya sendiri. Dia takut tertidur dan hanya mengandalkan obat penenang untuk mengusir mimpi buruknya.
Hari ini tepat dua hari setelah pentas seni Sabtu malam kemarin. Aku berdiri bersama beberapa temanku melihat si cantik Lena lagi. Dia benar-benar inspirasi bagi lagunya sendiri. Lagu yang dulu pernah kami mainkan. Lena melawan “Clinophobia” dengan lagu “Overdose” dan “Rest in Peace”
***
221 kata.
Ditulis untuk MFF Prompt #40 : Fobia
Clinophobia : Takut untuk tidur


Aku melihatnya, seorang putri Raja Aldin yang menangis di antara kerumunan pesta. Untuk kesekian kalinya dia dijodohkan dengan pangeran-pangeran kerajaan seberang yang memiliki kharisma. Seorang Raja Aldin yang dikagumi memang pantas memasangkan pangeran yang tampan bersanding dengan putri satu-satunya yang cantik jelita. Dia bernama Amelda dengan gaun merah jambu ketika aku melihatnya di pesta.
Beberapa waktu yang lalu kami bertemu di pasar. Aku benar-benar terasa tersihir oleh kecantikannya. Dia berjalan sendirian dengan pakaian biasa. Percaya atau tidak Amelda tak terlihat seperti seorang putri. “Apa yang harus kukatakan padamu? Aku ini hanyalah penjual rumput gembala dari sudut kerajaan” Jantungku berdetak keras dan Amelda semakin dekat menuju kiosku. Mengapa aku harus menjadi penjual rumput dan kau menyamar seperti penggembala?

“Maukah kamu jadi pacarku?”
Dia menjawab dengan anggukan mantap diiringi senyum yang selalu membuatku merasa tenang. Namanya Gadis saat itu kutemukan dia berusia 22 tahun. Kukenal dia di pinggir kota Pahlawan setahun yang lalu tanggal 7 Desember. Kami kuliah di salah satu universitas ternama di Surabaya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama saat konser menggema di Sabtu malam itu. Yang paling kusuka adalah senyumnya yang selalu membuatku tenang. Malam itu band lokal sedang berlalu dengan sebuah lagu berjudul “Sempurna” seperti mereka tahu ada sosok sempurna yang kutemukan malam itu. Ya, lalu kami berkenalan atas bantuan seorang temannya yang kebetulan temanku juga. Benar-benar cara berkenalan yang klasik. Gadis, aku berharap kita bisa bersama.

Aku baru tersadar dari tidurku beberapa menit lalu. Matahari sudah menyapa pekarangan rumahku yang penuh dengan semak belukar. Mukaku seperti terbakar dan gatal memerah. Air, hanya benda cair itu yang ingin kutemui saat ini. Segera kuberlari menuju kamar mandi membasuh muka dan tanganku yang terkena cairan merah sisa pesta tadi malam. Dari kamar berpintu merah di ruang tengah keluar seorang lelaki berbadan tinggi tegap. Kakakku baru saja terbangun dengan keadaan yang sama. Mukanya merah tangannya juga. Lalu adik perempuanku juga keluar dari kamarnya untuk membersihkan cairan merah itu dari tubuhnya yang putih. Entah seperti apa pesta tadi malam aku sudah lupa. Yang terakhir kuingat hanya suara jeritan dan hiruk pikuk ramainya pesta.

 Tempat ini masih saja tak berubah sama seperti enam tahun yang lalu. Pemandangan dari lantai tiga memang menyenangkan. Melihat orang-orang menyemut di bawah. secangkir kopi hitam ini entah aku bisa menghabiskannya atau tidak. Kepalaku sakit seperti dipukuli orang. Migrain sedang menyerangku beberapa saat lalu ketika aku menelusuri jalan aspal Kota Bunga. Kini sisa sakitnya menyelimuti kepalaku yang melongok-longok memandangi beringin tua di seberang jalan. Di sudut tempat ini banyak penjual menggoreng dagangannya dengan minyak entah berapa liter dan entah berapa kolesterol hinggap di dalamnya.

Mengapa...?
Mengapa kita terlahir di dunia?
Mengapa kita hidup?
Mengapa ada pertemuan?
Mengapa ada perpisahan?
Mengapa kita menangis?
Mengapa kita tertawa?
Mengapa ada rasa cinta?
Mengapa ada rasa benci?
Mengapa dia kaya?
Mengapa dia bisa begitu?
Mengapa ini?
Mengapa itu?
Mengapa...?

So close no matter how far 
Daku engkau dekat berhadapan menatap nanar

Couldn't be much more from the heart 
Tahukah mengapa hati hanya diam di antara jelaga?

Forever trust in who we are 
Apakah mampu kita bertahan tergerus dusta?

And nothing else matters 
Tenanglah dalam keraguan

Langganan: Postingan ( Atom )

Mari Mencari

Sembari Dengarkan

Arsip Rakitan

  • ►  2017 (3)
    • ►  Juli (3)
  • ►  2016 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2015 (15)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2014 (35)
    • ▼  Desember (3)
      • Titik Pertemuan Kau dan Aku
      • Setlist
      • Sepuntung Rokok dan Sesesap Kopi
    • ►  Juni (2)
      • Si Penipu
      • Jelangkung
    • ►  Mei (2)
      • Mereka Saling Berteriak
      • Warna Dalam Matamu
    • ►  April (2)
      • Hilang
      • Ketika Ibu Jatuh Cinta
    • ►  Maret (17)
      • Gerbang Kosmik
      • Terperangkap
      • Seutas Tali
      • Tuhan, Terima Kasih....
      • Fianti
      • Zea
      • I'm Sure You Can Do ... !!
      • Ambil Sepuasmu
      • Lelaki Misterius
      • The Kill
      • Separuh Kalung Hati
      • Weirdo
      • Dinding Kamar
      • Alasan
      • Aku Mencintainya
      • Menari di atas kertas
      • Kita Tak Pernah Jauh!
    • ►  Februari (4)
      • Don Juan
      • Gadis Indonesia yang baik hatinya
      • Sleepwell
      • Kata Ketiga Belas Akan Membuka Gerbang Kerajaan!!
    • ►  Januari (5)
      • Malam Pertama
      • Pacar Baru Olfa
      • Mual
      • Mengapa...?
      • So Close No Matter How Far
  • ►  2013 (4)
    • ►  Desember (4)

Rakitan Sebelumnya

  • Ingin Hilang Ingatan
    Letih di sini, kuingin hilang ingatan.... Gerimis merona malam ini. Aku bisa merasakan warna pipimu memerah delima. Kau pasti meng...
  • #FFRabu - Lipstik Buat Parti
    Sejak Si Parti anak Pak Lurah suka nongkrong di warung milik Pak Burhan, dia menjadi pintar bersolek. Kecantikannya kini hampir menyaingi ...
  • Aku Memilihmu
    sumber Pilih dia atau aku, Lucie? “Jangan gegabah! Berpikirlah!” lelaki di depanku berteriak. Mukanya pasi melihatku. Aku t...
  • #FFRabu - MOU
    “Silakan dipelajari MOU-nya, Pak.” “Sebentar, Mas. Ini benar harga barangnya segini?” “Iya, Pak. Kalau kondisinya baru, biayanya meman...
  • Hanya Teman (Kata Mutia)
    Dulu. Dulu kita punya cerita. Teman. Dulu kita berteman. Sampai sekarang pun kita berteman. Hanya berteman. Sampai akhirnya waktu mu ...

Monday Flash Fiction

Monday Flash Fiction
Tempat untuk berfoya-foya para FlashFiction Lovers

Follow Twitter

Follow @ardirahardian

Cuplikan Twitter

Tweets by @ardirahardian

Kawan Blogger

Langganan

Postingan
Atom
Postingan
Semua Komentar
Atom
Semua Komentar

Si Perakit Kata

Unknown
Lihat profil lengkapku

E-book Monday Flashfiction 1

E-book Monday Flashfiction 1

E-book Monday Flashfiction 2

E-book Monday Flashfiction 2

Pada Sebuah Nama

Pada Sebuah Nama

Merakit Kata (Book Version)

Merakit Kata (Book Version)
Copyright 2014 Merakit Kata.
Distributed By My Blogger Themes | Designed By OddThemes