Fianti, nama seorang perempuan yang
sedang mengaduk-aduk hatiku. Entah bagaimana awalnya aku merasakan itu. Kami
berkenalan sudah cukup lama. Sejak diadakannya liga sepak bola di sekolahku
setengah tahun lalu. Rambutnya hitam panjang, matanya bersembunyi di balik kaca
transparan. Tatapannya masih sama sampai sekarang. Tetap membuatku salah
tingkah.
Canggung, rasanya hambar sekali obrolan
antara aku dan Fianti. Aku seperti kehabisan peluru agar suasana tetap hangat
dengan percakapan. Pertanyaanku hanya dijawab pendek-pendek olehnya.
“Eh, Fianti, besok kita berangkat
sekolah bareng ya,” ajakku saat bertemu dengan Fianti di kantin.
“Boleh deh,” jawabnya pendek.
“Eh rumah kamu di mana sih?”
“Deket sekolah kok.”
“Di mana?” ulangku belum jelas.
“Jalan Patimura, sebelah toserba.”
“Oh, mmm ... rumah tingkat yang pintu
gerbangnya cokelat ya?”
“Bukan, sebelah toserba,” dia meralat.
“Oh, mmm ... sebelah toserba ya? Gimana
kalau nanti kuantar pulang, sekalian biar tahu rumahmu.”
“Gak ngrepotin nih?” tanyanya
meyakinkan.
“Gak kok, santai aja,” balasku mantap
dengan senyum mengembang.
Fianti hanya tersenyum dan mengangguk
pelan tanda sepakat. Aku bahagia. Eh, ada apa? Mengapa aku sebahagia ini?
Mungkinkah aku ...
Terlalu cepat rasanya kalau aku seyakin
ini. Aku bukan tipe laki-laki yang tertarik pada pandangan pertama. Biasanya
aku selalu mempertimbangkan dari sisi lain. Tapi dengan Fianti. Ah, ada apa
dengan dia? Mengapa aku selalu gugup di depannya?
***